Marketnews.id Banyak cara buat perusahaan publik untuk menarik perhatian investor agar mau investasi pada perusahaan atau emiten. Salah satunya adalah dengan meminta lembaga rating untuk menilai kinerja usaha emiten penerbit obligasi.
PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) memiliki obligasi yang akan jatuh tempo pada Juli 2022 mendatang. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memberikan peringkat IdAA- buat obligasi berkelanjutan I-2017 senilai Rp 68 miliar yang akan jatuh tempo pada Juli 2022.
Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menetapkan peringkat idAA- (Double A Minus) pada obligasi PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) senilai Rp68 miliar yang akan jatuh tempo pada 7 Juli 2022.
Analis Pefindo, Aishantya menyebutkan, surat utang AKRA yang akan segera jatuh tempo tersebut adalah Obligasi Berkelanjutan I-2017 Seri B senilai Rp68 miliar. Menurut Aishantya, AKRA sudah merencanakan untuk melunasi obligasi yang akan jatuh tempo tersebut dengan menggunakan dana dari kas internal.
“Per 30 September 2021, AKRA mencatatkan kas dan setara kas sebesar Rp1,6 triliun, yang dianggap cukup untuk memenuhi obligasi yang akan jatuh tempo,” ungkap Aishantya dalam siaran pers Pefindo, Kamis 24 Maret 2022.
Dia menjelaskan, Efek utang dengan peringkat idAA memiliki sedikit perbedaan dengan peringkat tertinggi yang diberikan. “Kemampuan emiten untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas Efek utang tersebut, dibandingkan dengan emiten lainnya di Indonesia, adalah sangat kuat,” kata Aishantya.
Sementara itu, lanjut Aishantya, tanda minus (-) yang melekat pada peringkat surat utang AKRA tersebut menunjukkan bahwa rating yang diberikan relatif lemah dan berada di bawah rata-rata kategori yang bersangkutan.
AKRA bergerak dalam bisnis perdagangan dan distribusi bahan bakar dan kimia dasar di Indonesia. Melalui anak usahanya, AKRA juga bergerak dalam bidang usaha logistik, manufaktur, kawasan industri terintegrasi dan pelabuhan.
Per 30 September 2021, pemegang saham AKRA terdiri dari PT Arthakencana Rayatama (59,6 persen), manajemen perusahaan (1,33 persen) dan publik sebanyak 37,5 persen (masing-masing dengan kepemilikan di bawah 5%), serta saham treasuri sebanyak 1,68 persen.