Marketnews.id Wacana Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral akan masuk menjadi bagian dari Pemerintah kembali menjadi bahan perdebatan. Kelebihan maupun kekurangan sistem bank sentral yang ada saat ini sebenarnya bisa jadi tolok ukur menilai fungsi bank sentral dalam menopang perekonomian nasional.
Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 1993-1998, Soedrajad Djiwandono mengatakan, rencana pengesahan RUU Sektor Keuangan yang menganut sistem sentralistis justru bisa membahayakan kinerja bank sentral hingga sektor jasa keuangan nasional.
Gubernur BI jelang akhir era Orde Baru itu mengatakan, adanya keinginan berbagai pihak agar pengawasan perbankan dilakukan secara terpadu, tentunya serupa dengan rencana untuk menciptakan kembali kontrol terhadap BI yang sentralistis. Sehingga, lanjut Soedrajad, nantinya akan ada penataan kewenangan di BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Seandainya RUU Sektor Keuangan ini mengarah ke situ (sistem sentralistis), maka hal itu akan membahayakan kinerja bank sentral (BI) dan kinerja seluruh sistem keuangan yang sebetulnya ingin diselamatkan,” ujar Soedrajad, dalam Infobank Public Discussion bertema “RUU Sektor Keuangan: Akankah Kembali ke Sistem Sentralistis?” yang digelar secara virtual di Jakarta, Senin (19/4).
Terkait adanya wacana pembentukan Dewan Moneter, menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa keputusan moneter akan berada di bawah presiden. “Dewan Moneter yang menentukan kebijakan moneter. Itu harus tunduk kepada presiden, karena ketuanya seorang menteri,” ucapnya.
Dia menilai, sistem sentralistis pada sektor jasa keuangan membutuhkan tim sebagai pengawas baru yang akan mengontrol Komite Stabilitas Sistem Keuangan ( KSSK ) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua OJK dan Ketua LPS. “Nanti kalau ada tim yang berada di atas KSSK , maka akan ada koordinasi di atas koordinasi,” kata Soedrajad.
Mekanisme pengawasan seperti ini, lanjut dia, secara legal bisa melindungi pejabat yang berada di layer bawah. “Waktu kita (BI) tidak independen, pengawasan menjadi kurang efektif. Krisis tidak menunggu kita membikin keputusan. Yang memutuskan harus presiden,” ujarnya.
Padahal, kata dia, krisis yang bersifat sistemik membutuhkan kecepatan dalam pengambilan keputusan. Soedrajad mengungkapkan, pada dasarnya independensi bagi BI bertujuan menciptakan accountability dan responsibility , serta pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan.
“Gubernur BI pada waktu itu diberi pangkat menteri atau sebagai pejabat tinggi negara yang sejajar dengan menteri yang merupakan pembantu presiden. Karena Gubernur BI sebagai pejabat eksekutif, jadi tidak jelas dan tidak ada independensi di bank sentral saat itu,” tutur Soedrajad.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fathan Subchi menegaskan, BI tidak perlu mengkhawatirkan tentang wacana terkait pengurangan independensi lembaga. “Saya kira bisa dihilangkan soal kekhawatiran mengenai independensi yang akan dikurangi,” katanya.
Fathan menyebutkan, saat ini masih cukup waktu untuk memperdebatkan persoalan terkait independensi BI, karena pembahasan Omnibus Law Sektor Keuangan akan dilakukan pada Agustus-September 2021. Sehingga, DPR dan pemerintah masih bisa memperoleh masukan dari akademisi maupun pelaku di sektor jasa keuangan.
Menurut Fathan, saat ini terdapat tiga isu utama yang akan disahkan Komisi XI DPR pada 2021 dan 2022, yakni Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ( HKPD ), Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan Omnibuslaw Sektor Keuangan.
“Pemerintah dan DPR sudah sepakat pada masa sidang Mei dan Juni 2021 akan dirampungkan dua undang-undang, HKPD dan KUP,” ucap Fathan.