Marketnews.id Tahun 2020 baru saja keluar dari kuartal pertama. Tapi, Pemerintah, sudah mulai berhitung untuk membuat dan mengajukan APBN 2021 dengan berbagai asumsi diantaranya pendemi Covid-19 belum dapat diprediksi kapan akan berakhir.
Kementerian Keuangan, memaparkan proyeksi asumsi ekonomi makro untuk tahun 2021. Dalam proyeksi tersebut, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan berkisar 4,5% – 5,5%.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengatakan pemerintah tengah menyusun Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal ( PPKF ) tahun 2021. Dokumen tersebut akan menjadi bahan pembicaraan awal bagi Pemerintah dan DPR dalam menyusun RAPBN 2021.
“Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan 4,5% – 5,5%,” kata Febrio dalam diskusi online di Jakarta, Rabu (17/6).
Selain itu dalam KEM dan PPKF 2021, pemerintah juga memproyeksikan besaran inflasi nasional tahun depan berkisar antara 2,0% – 4,0%. Untuk proyeksi tingkat suku bunga SPN 3 bulan belum ada.
Sementara tingkat suku bunga SBN 10 Y pada tahun depan diproyeksikan berada di kisaran 6,67% – 9,56%.
“Kurs rupiah pada tahun depan diproyeksikan berada pada level Rp 14.900 – Rp 15.300 per dolar AS,” ujar Febrio.
Selain itu, harga minyak mentah Indonesia tahun depan diprediksi ada di kisaran USD 40 – USD 50 per barrel. Lifting minyak tahun 2021 diproyeksikan berada pada level 677 – 737 ribu barel per hari. Terakhir, lifting gas pada tahun depan diproyeksikan berada pada level 1.085 – 1.173 ribu barrel setara minyak per hari.
Febrio menegaskan Pandemi COVID-19 telah menggoyang perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan yang tertuang dalam KEM dan PPKF 2021 akan menjadi harapan untuk pemulihan ekonomi nasional, sekaligus komitmen pencapaian visi 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
“Kebijakan ini penting untuk dipahami karena pemerintah tetap berusaha agar Indonesia tidak terus terjebak dalam middle income trap,” tutur Febrio.
Febrio menegaskan bahwa defisit APBN pada tahun depan juga akan tetap di atas tiga persen. Kondisi ini akan terus berlangsung sampai tahun 2022.
Pemerintah memandang pelebaran defisit APBN tetap diperlukan untuk sementara waktu dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi nasional dari dampak wabah virus corona.
“Namun kita akan tetap menjaga agar APBN kita tetap memiliki kredibilitas yang baik di mata publik,” tutup Febrio.
Sementara itu, Pemerintah menjamin rasio utang dikelola dalam batas aman pada APBN 2021 yang tidak melebihi 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
“Pembiayaan akan dilakukan secara terukur dengan terus menjaga sumber pembiayaan secara aman, hati-hati dan sustainable,” ujar Febrio Kacaribu.
Menurut dia, dalam kebijakan makro fiskal tahun 2021, besaran defisit diperkirakan berada pada rentang 3,05-4,01 persen terhadap PDB.
Rasio utang, lanjut dia, juga diproyeksi naik kisaran 33,8-35,88 persen terhadap PDB.
Besaran defisit dan rasio utang yang masih tinggi itu, kata dia, tidak terlepas dari upaya pemerintah melakukan pemulihan ekonomi sebagai imbas dari dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19 tahun 2020.
Ia mengharapkan APBN 2021 menjadi instrumen yang melindungi masyarakat paling terdampak, memperkuat ekonomi domestik, pemulihan kesehatan dan ekonomi nasional.
Kebijakan fiskal tahun 2021, lanjut dia, juga tidak berdiri sendiri namun menjadi bagian jangka menengah melalui reformasi sejumlah sektor terutama untuk produktivitas dan daya saing agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Sebagai gambaran utang pemerintah pusat, Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang per akhir Mei 2020 mencapai Rp5.258,57 triliun atau mencapai 32,09 persen terhadap PDB.
Rinciannya, sebesar Rp4.442,90 atau 84,49 persen bersumber dari surat berharga negara (SBN) terdiri dari SBN dalam bentuk rupiah (domestik) sebesar Rp3.248,23 triliun dan valuta asing Rp1.194,67 triliun.
Selain SBN, utang juga berasal dari pinjaman atau 15,51 persen mencapai Rp815,66 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp9,94 triliun dan luar negeri Rp805,72 triliun.