Marketnews.id Manajemen baru PT Garuda Indonesia Tbk sudah terbentuk. Pekerjaan panjang dan rumit telah menanti. Setidaknya manajemen dikejar target untuk segera melunasi utang jangka pendek yang sudah akan jatuh tempo. Apalagi, untuk membayar utang tersebut perseroan harus membuat utang baru.
Direktur Utama baru PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA)., Irfan Setiaputra buka-bukaan terkait dengan rencana soal pembayaran utang perseroan.
Maskapai penerbangan pelat merah tersebut sedang dikejar oleh utang jangka pendek dengan total US$500 juta atau sekitar Rp7 triliun, jika mengacu dengan kurs Rp14.000 per dolar AS.
Irfan mengatakan bahwa kendati lebih banyak berkecimpung di dunia teknologi informasi, struktur keuangan perseroan menjadi salah fokus utama yang akan dibenahinya.
“Utang itu salah satu concern kami, tadi siang kami sempat bicara soal ini, akan melakukan upaya-upaya, seperti melakukan negosiasi dan mencari utang baru,” katanya di Kementerian BUMN , Jumat (24/1/2020).
Pada awalnya, perseroan berencana menerbitkan sukuk global atau instrumen keuangan lainnya dengan jumlah maksimum sebesar US$900 juta. Tujuannya, untuk pelaksanaan refinancing utang perseroan.
Namun, rencana tersebut batal direalisasikan perseroan karena belum tersedianya laporan keuangan limited review atau laporan keuangan audit perseroan sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPSLB pada 22 Januari 2019.
“Kami akan terus cari alternatif pendanaan,” ungkapnya.
Sekadar informasi, per September 2019 total utang emiten berkode saham GIAA tersebut berjumlah US$1,6 miliar atau lebih rendah 12 persen dibandingkan dengan catatan per kuartal II/2019 senilai US$1,66 miliar.
Total utang jangka pendek GIAA pada periode tersebut adalah senilai US$1,43 miliar atau sebesar 89,5 persen dari total utang yang dimiliki perseroan. Jumlah itu tercatat menurun 14,4 persen dibandingkan utang jangka pendek per kuartal II/2019 senilai US$1,51 miliar.
Sementara itu, utang jangka panjang perseroan per September 2019 tercatat senilai US$112,3 juta, meningkat 44,5 persen dibandingkan dengan catatan per kuartal II/2019 senilai US$94,8 juta.
Biaya leasing turut memberikan kontribusi sebesar 3,5 persen terhadap total utang perseroan. Sepanjang Januari 2019-September 2019, total utang leasing tercatat senilai US$56,1 juta, lebih rendah 16 persen dibandingkan per Juni 2019 senilai US$59,7 juta.
Irfan juga mengatakan hingga saat ini pihaknya terus melakukan penjajakan dengan pihak lessor guna mendapatkan harga yang lebih kompetitif ke depannya. Dia menyebut, perseroan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan jasa konsultan agar lebih efektif.
“Karena kalau biaya kami tekan, akan lebih baik ke profit dan utang perseroan,” ungkapnya.
Utang yang harus dilunasi dengan cara membuat utang baru merupakan masalah tersendiri. Apalagi, bila beban usaha tidak berubah atau dikurangi. Salah satu komponen beban usaha adalah gaji.
Namun, tak banyak orang tahu berapa pendapatan komisaris dan direksi di perusahaan pelat merah seperti Garuda. Lantas, berapa gaji mereka?
Mengutip laporan keuangan Garuda sampai September 2019, total renumerasi komisaris US$ 734.793. Sementara, pada Desember 2018 total remunerasi US$ 931.248.
Total remunerasi itu terbagi menjadi dua, yakni imbalan kerja jangka pendek US$ 615.896 dan imbalan pasca kerja US$ 118.897 untuk periode 9 bulan sampai September 2019.
Dengan asumsi pukul rata, maka tiap komisaris memperoleh pendapatan sebesar US$ 146.958. Kemudian, per bulannya ialah dengan membagi sembilan menjadi US$ 16.328. Dengan kurs Rp 14.000, maka komisaris memperoleh pendapatan sebesar Rp 228.592.000 per bulannya.
Tentunya, pendapatan yang didapat komisaris tidak sama, sesuai dengan posisinya.
Dalam laporan itu juga memasukan renumerasi direksi yakni totalnya US$ 1.701.821. Sementara hingga Desember 2018 sebelumnya US$ 2.145.575. Pertanyaanya, wajarkah renumerasi yang diterima oleh direksi dan komisaris dalam keadaan perusahaan terbelit utang dan merugi?