MarketNews.id Tantangan ekonomi global yang semakin tidak menentu berdampak langsung pada negara berkembang khususnya penguatan mata uang dolar. Tantangan yang semakin besar ini disikapi oleh Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan melanjutkan transformasi digital dengan meningkatkan transaksi wholesale dan ritel melalui perluasan ekosistem digital.
Bank Mandiri Tbk (BMRI) optimistis kinerja perseroan tetap stabil di tahun 2023 meski di tengah maraknya risiko dan ketidakpastian global, serta normalisasi kebijakan suku bunga Bank Indonesia. Optimisme didukung oleh inisiatif transformasi digital guna mengejar pertumbuhan grosir dan fundamental modal yang memadai.
“Optimisme tersebut seiring dengan berbagai inisiatif dan modal infrastruktur yang kami miliki. Di tahun 2022 kinerja Bank Mandiri juga akan terus membaik,” kata Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan dalam acara Media Gathering and Presentasi Macroeconomic Outlook secara daring di Jakarta, Selasa 4 Oktober 2022.
Ia menyebutkan, salah satu inisiatif yang dimiliki Bank Mandiri adalah terus melanjutkan transformasi digital dengan meningkatkan transaksi wholesale atau grosir dan ritel melalui perluasan ekosistem digital.
Langkah tersebut antara lain dilakukan dengan memaksimalkan layanan digital Livin’ by Mandiri untuk nasabah ritel serta Kopra by Mandiri untuk nasabah wholesale.
Sementara, ucap Panji, modal infrastruktur yang dimiliki perbankan terbesar milik Pemerintah ini, adalah kinerja keuangan yang menorehkan hasil sangat baik di kuartal II-2022, yakni total aset tumbuh 13 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) dengan kualitas yang terjaga.
Kenaikan itu tentunya diikuti oleh peningkatan penyaluran kredit yang tumbuh 12,2 persen (yoy). Dana Pihak Ketiga (DPK) perseroan pun meningkat signifikan sebesar 12,8 persen (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri perbankan yang sebesar 9,1 persen (yoy).
Lebih jauh Panji menjelaskan memasuki triwulan ketiga tahun ini, tantangan global terlihat semakin besar yang meliputi gejolak ekonomi dan geopolitik dunia yang berdampak pada ekspektasi stagflasi kepada negara-negara maju.
Kondisi ini pun membuat beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS) mengeluarkan kebijakan kontraktif dengan mendorong penguatan dolar AS terhadap nilai tukar negara di dunia. “Namun yang menarik, pelemahan nilai tukar terdalam justru dihadapi oleh negara-negara maju dibandingkan negara berkembang, termasuk Indonesia,” ungkapnya.
MarketNews.id Media Investasi dan Pasar Modal