Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) hari ini memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan, 7 -day reverse repurchase rate pada rekor terendah 3,5 persen. Meskipun begitu, BI juga sudah memberi isyarat bulan Maret mendatang bersiap untuk menormalkan kebijakan sambil mendorong pertumbuhan kredit lewat langkah makroprudensial. Salah satu support yang dilakukan BI adalah memberikan penegasan bahwa perbankan memiliki likuiditas yang longgar dan dapat dengan leluasa untuk menyalurkan kredit nya.
Bank Indonesia (BI) memastikan likuiditas perbankan sangat longgar sehingga siap untuk mengakselerasi pertumbuhan kredit. BI mengklaim telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sebesar Rp147,83 triliun pada tahun 2021 dan Rp5,93 triliun pada tahun 2022 (hingga 18 Januari 2022).
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan sepanjang 2021 lalu pihaknya telah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp358,32 triliun. Jumlah ini terdiri dari pembelian di pasar perdana sebesar Rp143,32 triliun. Kemudian private placement sebesar Rp215 triliun.
“Pada tahun 2022 (hingga 18 Januari 2022) BI telah melakukan pembelian SBN di pasar perdana sebesar Rp2,20 triliun. Dengan ekspansi moneter tersebut, kondisi likuiditas perbankan pada Desember 2021 longgar,” ujar Perry dalam konferensi pers virtual, Kamis, 20 Januari 2022.
Dijelaskan bahwa saat ini rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) kondisinya tinggi yaitu mencapai 35,12 persen serta Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh sebesar 12,21 persen (yoy). Di sisi lain likuiditas perekonomian juga meningkat yang tercermin pada uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh meningkat masing-masing sebesar 17,9 persen (yoy) dan 13,9 perswn (yoy).
“Pada tahun 2022, kami akan melakukan normalisasi kebijakan likuiditas dengan tetap memastikan kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN ,” ujar Perry.
Sementara itu BI memperkirakan normalisasi kebijakan moneter oleh The Fed tahun 2022 ini akan mulai pada Maret 2022 mendatang. Normalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan diperkirakan akan dilakukan sebanyak empat kali di sepanjang tahun 2022.
Menurut, Perry Warjiyo, perkiraan normalisasi oleh The Fed tersebut didasarkan pada bacaan BI terhadap perkembangan ekonomi secara menyeluruh di Amerika Serikat (AS). Dari dinamika perekonomian di AS yang terkait dengan inflasi, pertumbuhan ekonomi serta tingkat pengangguran, BI awalnya memperkirakan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) pada tahun 2022 sebanyak tiga kali. Namun di sisi lain BI juga membaca dinamika dari pasar atas potensi respons kebijakan The Fed.
Dari dua bacaan tersebut BI akhirnya menyimpulkan bahwa asumsi kenaikan FFR pada tahun 2022 akan terjadi sebanyak empat kali. Namun terkait dengan besaran kenaikan FFR, BI masih perlu melakukan kajian dan pendalaman lebih lanjut terhadap perekonomian global khususnya di AS.
“Baseline skenario kami Fed Fund Rate akan naik 4 kali mulai Maret 2022 mendatang. Probabilitas kenaikan FFR meningkat tinggal masalahnya magnitudonya apakah 25 basis poin atau 50 basis poin. Itu yang harus kita baca lebih lanjut,” ungkap Perry.
Sementara itu terkait kebijakan FFR tahun ini, BI menyatakan hal itu akan berdampak pada aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri lantaran akan perbedaan yield SBN dengan yield US Treasury. Selain itu juga akan berpengaruh pada stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Pengaruhnya pada stabilitas sisi eksternal yaitu menjaga stabilitas nilai tukar dan stabilitas pasar SBN. Tentu saja plus poinnya kondisi fundamental kita baik, CAD lebih rendah dan surplus neraca modal lebih tinggi dan pasokan valas besar serta jumlah devisa kita tinggi,” pungkas Perry Warjiyo.