Marketnews.is Benang kusut yang dihadapi oleh maskapai penerbangan Garuda Indonesia, tinggal menunggu waktu. Pemerintah lewat Kementrian BUMN tidak memiliki opsi lain selain menutup maskapai penerbangan pembawa bendera negara ini.
Bila manajemen dan pemegang saham tidak mampu bernegoisasi dengan kreditur, lessor dan pemegang Sukuk, tidak ada pilihan lain kecuali mempailitkan perusahaan publik ini.
Yang pasti pemerintah tidak memiliki uang untuk melunasi utang perusahaan ini yang jumlahnya melebih aset yang dimiliki. Dampak susulan buat pemegang saham publik juga akan berbuntut panjang lantaran perusahaan adalah perusahaan publik yang juga dimiliki oleh negara.
Lalu, tepatkah langkah pemerintah menunjuk maskapai Pelita Air Service yang di miliki oleh BUMN Pertamina menggantikan peran PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sebagai maskapai penerbangan pembawa bendera negara.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membenarkan rencana untuk menyiapkan PT Pelita Air Service (PAS) sebagai maskapai berjadwal nasional menggantikan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA).
Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo menjelaskan rencana tersebut telah disiapkan untuk mengantisipasi apabila restrukturisasi dan negosiasi yang sedang dijalani oleh Garuda tak berjalan mulus. Tiko, sapaan akrabnya, menjelaskan kondisi arus kas dan operasi harian maskapai pelat merah tersebut sangat minim.
Menurutnya, jadwal dan frekuensi penerbangan emiten berkode saham GIAA tersebut sangat bergantung terhadap kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat. Dengan demikian, kondisi Garuda pun semakin rentan dengan arus kas yang kian tipis dari sisi arus kas apabila timbul kebijakan pengetatan pergerakan kembali kedepannya.
“Benar [Pelita dipersiapkan menjadi pengganti Garuda] karena kalau recovery penumpang udara meningkat, akan terjadi shortage serius jumlah pesawat di Indonesia. Ini karena banyak sekali pesawat yang digrounded oleh lessor,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (20/10/2021).
Sebelumnya, Tiko juga menjelaskan progres negosiasi dan restrukturisasi utang GIAA dilakukan dengan seluruh lender, lessor pesawat, hingga pemegang sukuk global. Negosiasi moratorium utang dan restrukturisasi kredit dilakukan tiga konsultan yang ditunjuk Kementerian Negara BUMN.
Meskipun demikian, negosiasi dengan kreditur dan lessor masih alot dan membutuhkan waktu yang panjang. Salah satu alasannya, pesawat yang digunakan Garuda dimiliki puluhan lessor.
’’Kalau mentok ya kita tutup, tidak mungkin kita berikan penyertaan modal negara karena nilai utangnya terlalu besar,’’ katanya.
Tiko menilai opsi penutupan Garuda tetap terbuka meski berstatus sebagai maskapai flag carrier. Alasannya, saat ini sudah lazim sebuah negara tidak memiliki maskapai yang melayani penerbangan internasional. Dia pun beralasan meskipun Garuda bisa diselamatkan, nyaris mustahil Garuda bisa melayani lagi penerbangan jarak jauh, misalnya ke Eropa.
Oleh karena itu, untuk melayani penerbangan internasional, maskapai asing akan digandeng sebagai partner maskapai domestik. ’Misalnya, London–Denpasar dilayani maskapai asing untuk rute London–Jakarta, sedangkan Jakarta–Denpasar dilayani maskapai domestik.
Tiko menyebut satu maskapai telah tertarik untuk menjadi partner maskapai internasional dengan kompensasi penerbangan umrah dan haji.
Untuk mengantisipasi jika opsi penutupan Garuda dilakukan, Kementerian BUMN telah menyiapkan transformasi maskapai Pelita Air dari air charter menjadi maskapai full service domestik.
Dalam hal ini, Pelita disiapkan menggantikan Garuda karena seluruh sahamnya juga dimiliki oleh BUMN juga yakni PT Pertamina (persero). Jika restrukturisasi utang Garuda ternyata berhasil, Pelita Air tetap bakal dioperasikan sebagai maskapai full service domestik.
Tiko mengungkapkan, masalah utama Garuda adalah biaya leasing yang melebihi kewajaran dan jenis pesawat yang digunakan terlalu banyak. Antara lain, Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, Airbus A330, ATR, dan Bombardier.
Hal tersebut mengakibatkan inefisiensi dalam perawatan, manajemen operasional penerbangan, hingga pelatihan kru kabin.
’’Intinya, inefisiensi dan banyak rute yang dipaksakan untuk diterbangi meski tidak profitable,’” katanya.