Marketnews.id Jumlah kredit yang telah direstrukturisasi oleh perbankan terkait pendemi Covid-19 hingga 11 Mei lalu telah mencapai Rp391,1 triliun dari 4,33 juta debitur.
Rinciannya, debitur UMKM sebanyak 3,76 juta dengan nilai debet Rp 190,30 triliun. Sedangkan debitur non UMKM sebanyak 567.870 dengan baki debet Rp 200,88 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan, bakal ada audit terhadap pelaksanaan restrukturisasi kredit perbankan akibat wabah Covid-19. Tujuannya untuk memastikan tak ada penumpang gelap yang bisa mengganggu kesehatan industri perbankan nasional.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, Heru Kristiyana, pihaknya tak ingin kebijakan restrukturisasi kredit perbankan disalah gunakan oleh orang tak bertanggung jawab. “Oleh sebab itu kami pastikan ada post audit terhadap pelaksanaan restrukturisasi kredit yang telah dilakukan kalangan perbankan,” kata Heru dalam diskusi online “Restrukturisasi Kredit : Meneropong Perspektif Regulasi & Industri (Telaah POJK No. 11/POJK.03/2020)”, pada Selasa (19/5).
Heru menegaskan, OJK tak menghendaki ada penumpang gelap yang memanfaatkan momentum restrukturisasi kredit perbankan untuk menghindari kewajibannya kepada perbankan.
Restrukturisasi kredit adalah penundaan kewajiban pembayaran cicilan kredit, bukan pembebasan kewajiban pembayaran cicilan kredit.
“Kami tak mau ada free riders yang bisa mengganggu kesehatan industri perbankan,” jelas Heru.
Oleh sebab itulah, ada 4 hal yang menurut OJK harus dilakukan perbankan dalam melakukan restrukturisasi kredit. Pertama, adalah identifikasi. Bank harus mengindentifikasi dampak Covid-19 terhadap lingkungan perbankan. Kemudian bank harus menyusun skenario dampak wabah ini terhadap perekonomian dan efek rembetan terhadap kinerja perbankan.
Kedua, melakukan mitigasi resiko kredit dan kecukupan likuiditas. Bank harus memahami sektor ekonomi dan debitur terdampak berikut outstandingnya. Setelah itu susun skenario restrukturisasi dan upaya penyelamatan debitur.
Ketiga, perbankan harus lakukan stress test kecukupan modal dan likuiditas. Bank harus menyiapkan skenario analysis terhadap kebutuhan dan ketersediaan modal terkait dengan peningkatan resiko kredit. Bank juga perlu melakukan identifikasi gap likuiditas.
Keempat, bank harus melakukan optimalisasi pengelolaan portofolio. Bank perlu melakukan identifikasi portofolio yang rentan terpengaruh dan terdampak. Bank harus melakukan optimalisasi modal dan ketersediaan likuiditas. “Terapkan berbagai skenario krisis,” tutup Heru.
Bila keempat langkah ini dilakukan oleh perbankan dengan konsisten, diharapkan perbankan terhindar dari prakti moral hazard. Semoga saja kasus yang terjadi 22 tahun lalu tidak berulang seperti kasus BLBI yang sampai saat ini belum juga tuntas.