MarketNews.id Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan pekan ketiga November 2023, Jumat 17 Nopember 2023 dengan menguat 0,28 persen menjadi 6.978, jauh di atas level 6.809 pada akhir pekan sebelumnya. Investor asing membukukan arus masuk ekuitas sebesar USD56 juta dalam sepekan terakhir.
PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat, beberapa peristiwa yang mempengaruhi pergerakan dana di pasar modal dan dalam negeri, antara lain;
o Tingkat inflasi tahunan di AS melambat menjadi 3,2% pada Oktober 2023 dari 3,7% pada September dan Agustus, sedikit di bawah ekspektasi 3,3%.
o Tingkat inflasi di Inggris turun menjadi 4,6% pada Oktober 2023, dari 6,7% pada September dan Agustus, jauh dari ekspektasi 4,8%, dan terendah sejak Oktober 2021.
o Penjualan ritel China melonjak 7,6% YoY di Oktober 2023, meningkat dari 5,5% di bulan sebelumnya dan melampaui ekspektasi kenaikan 7%.
Ini menandai pertumbuhan omzet ritel selama sepuluh bulan berturut-turut dan ekspansi tercepat sejak bulan Mei.
o Indikator Sentimen Ekonomi ZEW Jerman kembali naik sebesar 10,9 poin hingga mencapai +9,8 pada November 2023, melampaui ekspektasi pasar sebesar +5,0.
Angka tertinggi sejak bulan Maret ini, menunjukkan bahwa negara dengan perekonomian terbesar di Eropa ini telah mencapai titik balik, di tengah meningkatnya ekspektasi perekonomian.
o Perekonomian Jepang mengalami kontraksi 2,1% YoY, selama kuartal III, 2023, melebihi estimasi penurunan sebesar 0,6%, setelah pertumbuhan kuartal II yang direvisi turun menjadi 4,5%.
Ini merupakan kontraksi tahunan pertama dalam aktivitas ekonomi sejak kuartal IV, 2022.
o Indeks Sentimen Konsumen Westpac-Melbourne Institute, Australia turun menjadi 79,9 pada November 2023, dari 82 di Oktober, kembali ke level yang sangat pesimistis karena kenaikan suku bunga RBA pada November memberikan tekanan baru pada keuangan keluarga dan menghidupkan kembali kekhawatiran terhadap kenaikan biaya hidup, serta prospek kenaikan suku bunga lebih lanjut di masa depan.
o Surplus perdagangan Indonesia turun menjadi USD3,48 miliar pada Oktober 2023 dari USD5,59 miliar pada Oktober 2022, melebihi perkiraan surplus USD 3,0 miliar, karena ekspor turun lebih besar dibandingkan impor.
Apa yang terjadi seminggu terakhir ini?
Ashmore mencatat, pada pekan ini, IHSG ditutup menguat dibandingkan pekan sebelumnya, terutama didorong oleh sektor Infrastruktur dan Teknologi yang masing-masing memberikan kontribusi sebesar 9,42% dan 2,74% terhadap indeks.
Minggu ini kita juga melihat angka inflasi utama dan inti dari AS yang berakhir lebih rendah dari perkiraan. Sementara itu, China merilis data produksi industri dan penjualan ritel yang lebih kuat dari perkiraan, sehingga menghidupkan kembali harapan pemulihan yang lebih kuat.
Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di Eropa, juga menunjukkan kabar baik karena indikator sentimen mencapai titik tertinggi sejak bulan Mei.
“Secara keseluruhan, negara-negara besar menunjukkan tanda-tanda kabar baik meskipun ketegangan geopolitik sedang berlangsung. Sementara itu, surplus perdagangan Indonesia pada bulan Oktober lebih rendah YoY dan lebih rendah dari ekspektasi,” tulis Ashmore.
Apakah kita sudah sampai puncak suku bunga?
Sejak dirilisnya angka inflasi AS yang terus mengalami tren penurunan, pasar memperkirakan suku bunga AS telah mencapai puncaknya, sehingga meminimalkan kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut pada rapat FOMC mendatang.
Namun Ashmore melihat bahwa faktanya, inflasi bulanan di bulan Oktober stagnan, terakhir terlihat pada Juli 2022. Akibatnya, imbal hasil US Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun turun menjadi 4,83% dan 4,43%.
“Pertanyaan yang tersisa adalah berapa lama suku bunga akan bertahan pada level saat ini sebelum akhirnya turun,” sebut Ashmore.
“Probabilitas suku bunga Fed terbaru menurut CME FedWatch Tool juga menunjukkan bahwa penurunan suku bunga mungkin terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Penurunan suku bunga paling awal mungkin terjadi pada awal Mei 2024.
“Namun perlu diingat bahwa pasar telah salah dalam memperkirakan puncak suku bunga di beberapa kesempatan karena volatilitas dari peristiwa global,” tambah Ashmore.
Sejalan dengan imbal hasil obligasi pemerintah AS, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia juga mengalami penurunan dari puncaknya pada bulan Oktober, dimana saat ini imbal hasil obligasi 2 tahun dan 10 tahun masing-masing berada pada level 6,89% dan 6,95%.
Namun Ashmore berpendapat, tingkat imbal hasil saat ini masih relatif menarik dan lebih tinggi dibandingkan rata-rata satu tahun masing-masing sebesar 6,24% dan 6,67%.
“Ekuitas tetap menarik karena kami mengantisipasi pendanaan politik dan belanja sosial sebelum akhir tahun. Rupiah pun kembali menguat ke kisaran level 15.500 dari hampir mencapai level 16.000 di akhir Oktober,” ungkap Ashmore.
Ashmore juga menilai, ketegangan geopolitik masih terus terjadi dan meningkatkan volatilitas global. “Kami terus mempertahankan diversifikasi antar kelas aset dan merekomendasikan ASDN dan ADPN untuk ekuitas serta ADON dan ADOUN untuk obligasi.