Marketnews.id PT Pertamina (Persero) memastikan, kesiapannya dalam menghadapi transisi energi global dengan menjalankan inisiatif strategis untuk pengembangan green energy sekaligus mendukung target pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan.
Mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Pertamina dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) menetapkan program green transition pada 2035. Saat ini, penurunan permintaan minyak dunia telah mencapai 35%, dan diperkirakan pada tahun 2035 akan menjadi 24%. Sebaliknya, kebutuhan energi bergeser ke renewable energy yang meningkat hingga 30%.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan, langkah dan inisiatif strategis yang dilakukan Pertamina saat ini sejalan dengan agenda perusahaan minyak dan gas dunia.
Seluruh perusahaan energi global bergerak untuk mengantisipasi tren penurunan permintaan minyak yang cukup tajam dan akan terjadi di masa depan. Permintaan dan konsumsi minyak dunia diperkirakan akan turun dari 110 juta barel per hari menjadi sekitar 65 – 73 juta barel per hari.
“Dengan dasar ini, Pertamina melakukan transisi dengan perubahan global. Kami melihat bagaimana international oil company lain juga merespons ini. Intinya agenda untuk menurunkan gas rumah kaca, carbon emission, ini menjadi agenda dari seluruh oil company di seluruh dunia,” kata Nicke.
Agenda strategi yang pertama, mengembangkan energi listrik dengan monetisasi aset panas bumi melalui Independent Power Producer (IPP) untuk mengembangkan 1,3 GW proyek panas bumi serta IPP berbasis surya di area dengan iradiasi matahari tinggi dan menjalin kemitraan strategis untuk pembuatan sel surya. Namun, dalam jangka pendek akan fokus dalam penerapan Solar PV di lingkungan Pertamina Group melalui sinergi antara subholding dan captive market di BUMN.
Kedua, lanjut Nicke adalah mengoptimalkan penggunaan energi ramah lingkungan untuk mobilitas di sektor transportasi dengan mendukung pemerintah melaksanakan mandatori Biodiesel 30 persen (B30), Green Refinery, dan Co Processing CPO. Pertamina juga menyiapkan produksi baterai melalui kemitraan dengan penyedia teknologi baterai dan BUMN serta menyediakan infrastruktur pengisian daya untuk mobil listrik (E2W dan E4W).
“Inisiatif kita melakukan transisi dari fossil fuel ke bio energy ini dapat menurunkan gas rumah kaca. Dari hasil studi, ini bisa menurunkan gas karbon monoksida maupun emisi dari gas hidrokarbon antara 20 hingga 50% emisi ,” tambah Nicke.
Sedangkan agenda ketiga, mengupayakan bahan bakar dengan optimalisasi sumber energi lain yang tersedia di dalam negeri, salah satunya dengan melakukan gasifikasi batubara kadar rendah menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk subtitusi LPG dalam rangka mengurangi impor dan menghasilkan energi yang lebih bersih.
Dalam masa transisi, Pertamina mengembangkan sejumlah proyek gas sebagai energi transisi antara fuel dan new renewable energy. Untuk gas, menurut Nicke, Pertamina mengembangkan gas untuk transportasi, household yang target yang ditetapkan pemerintah membangun 30 juta jaringan gas (city gas) di tahun 2050. Porsi terbesar yang diharapkan tumbuh adalah gas untuk industri.
Oleh karena itu, tambah Nicke, syarat penting untuk meningkatkan pemanfaatan gas yakni mengembangkan teknologi-teknologi hilirisasi gas. Diperkirakan kebutuhan gas akan mencapai 10,5 BSCFD di tahun 2050, yang porsinya adalah 92% dari konsumsi gas nasional.
“Pemanfaatan gas mempunyai posisi yang penting saat ini, karena gas merupakan sumber energi transisi yang menjadi jembatan antara conventional energy dan renewable energy,” tandasnya.