Marketnews.id Sebagai negara besar yang memiliki kekayaan berupa sumber daya alam dari Sabang hingga Papua, Indonesia wajar memiliki lembaga yang dapat mengelola aset bangsa ini dengan pruden dan mampu jadi sumber pendapatan negara. Lewat UU Cipta Kerja, telah diamanatkan untuk segera membentuk dan menunjuk pengelola lembaga tersebut. Lalu siapakah yang patut memimpin lembaga yang asetnya sangat besar dan rawan dengan pelanggaran moral hazard.
Melalui Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah menghidupkan kembali lembaga pengelola investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF). Akan tetapi keberadaannya diragukan.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko listiyanto mengatakan bahwa negara tetangga yaitu Malaysia memiliki dua lembaga sejenis LPI. Satunya adalah 1Malaysia Development Berhad (1MBD) yang mengalami skandal mega korupsi.
Padahal, Malaysia kondsinya berada di posisi 25 dari sisi peringkat pilar institusi, sedangkan Indonesia di urutan 50.
“Dengan posisi Malaysia yang lebih baik dari Indonesia, institusi yang seperti itu saja kebobolan. Bagaimana Indonesia yang rentan korupsi. Tapi memang kita tidak berharap itu terjadi,” katanya melalui diskusi virtual, Senin (2/11/2020).
Eko menjelaskan bahwa negara asing memang melirik Indonesia karena dari sisi investasi bagus. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah kesiapan LPI dalam mengelola dana dengan baik dan produktif.
1MBD yang sudah 12 tahun berdiri saja mengalami kerugian besar. Eko khawatir LPI tidak sanggup dan mengalami kejadian serupa.
Alasannya LPI harus dilakukan dengan disiplin yang tinggi. Oleh karena itu, Eko pesimistis LPI bisa berhasil dengan kondisi sekarang.
“Karena nanti aspeknya pemeritah lebih melihat dana dari luar negeri itu banyak yang masuk yang kalau tidak disambut mubazir, tapi kalau dengan LPI lebih sayang lagi. Karena kalau tidak terkelola dengan baik akan rugi. Mereka nanti menuntutnya ke lembaga,” jelasnya.
Seperti diketahui, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) akan memiliki modal awal sebesarRp75 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, modal awal LPI nantinya terdiri dari kombinasi aset negara atau BUMN dan sumber-sumber lainnya yang sekarang sudah dibahas oleh pemerintah.
“Ada injeksi ekuitas dalam bentuk dana tunai itu nilainya bisa mencapai sampai Rp30 triliun yang bersumber dari barang milik negara (BMN), saham pada BUMN atau perusahaan dan piutang negara,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan tiga hal penting terkait dengan LPI. Pertama, penyusunan kebijakan terkait LPI menjadi salah satu prioritas pemerintah. Hal ini juga sejalan dengan perintah dari Presiden Joko Widodo yang menginginkan penyusunan peraturan pemerintahnya (PP) bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu.
Mulyani menambahkan bahwa penyusunan kebijakan terkait LPI menjadi salah satu prioritas pemerintah. Hal ini juga sejalan dengan perintah dari Presiden Joko Widodo yang menginginkan penyusunan peraturan pemerintahnya (PP) bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu.
Dalam PP tersebut, pemerintah akan mengatur mengenai LPI termasuk di dalamnya akan membahas terkait dengan penyertaan modalnya yang nilainya bisa mencapai Rp75 triliun.
Dengan ekuitas tersebut, menurut Sri Mulyani, pemerintah berharap bisa menarik dana investasi hingga mencapai tiga kali lipatnya atau sekitar Rp225 triliun. “Kami menggunakan model SWF internasional sebagai standar best practice-nya,” ujarnya.
Sebelumnya, Anggota Perumus LPI sekaligus Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Robertus Bilitea menjelaskan, jika rancangan LPI disetujui untuk masuk dalam UU Cipta Kerja, lembaga ini akan membutuhkan modal dan aset.
Sumber modal dan aset yang dimaksud akan berasal dari dua kementerian, yakni Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Robertus mengatakan, jumlah modal dan aset untuk pengelolaan dana abadi alias sovereign wealth fund ini (SWF) cukup besar.
Untuk itu, dalam pelaksanaannya secara harian LPI akan dijalankan oleh dewan direksi. Namun, lembaga SWF ini tetap dikawal oleh dewan pengawas yang termasuk di dalamnya Menteri BUMN dan Menteri Keuangan