Marketnews.id Mengelola dana ratusan triliun untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional bukan perkara mudah. Belum lagi risiko yang akan menyertainya. Meskipun dalam Perpu No 1 tahun 2020 telah diberikan perlindungan bila pengelola mengalami kesalahan, bukan mustahil bila pengelola dana tersebut melanggar moral hazard dan akan mengalami tuntutan hukum.
Skema burden sharing, atau pembagian beban antara pemerintah dengan Bank Indonesia untuk mempercepat pemulihan ekonomi, terus dibahas dan difinalisasi. Bahkan saat ini, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia menggelar rapat kerja dengan DPR khusus membahas soal skema ini.
Dalam bahan paparan yang disampaikan ke DPR, Senin (6/7/2020), Gubernur BI Perry Warjiyo telah mengusulkan beberapa skema burden sharing yang mengacu hasil rapat kerja (raker) 29 Juni 2019.
Seperti diketahui dalam raker pekan lalu itu, beban tambahan pembiayaan pemerintah mencapai Rp903,46 triliun yang dibagi untuk public goods sebesar Rp397, 6 triliun dan non-public goods senalai Rp505,8 triliun. Lantas skema apa saja yang ditawarkan bank sentral?
Pertama, skema burden sharing seperti 29 Juni 2020, atas dasar pendanaan Rp574,59 triliun, dengan menyamakan skema burden sharing untuk non-public goods– korporasi sama dengan UMKM menjadi BI reverse repo rate dikurangi discount 1%.
Dalam skema ini, BI membeli surat berharga negara (SBN) khusus untuk pendanaan APBN public goods, UMKM, dan korporasi dengan total Rp574,59 triliun.
Skenario pembelian SBN khusus untuk public goods, UMKM, dan korporasi, misalnya, BI membeli langsung SBN khusus di 2020 sebesar Rp574,59 dengan kupon sama dengan BI reverse repo rate, dengan tenor tiga bulan.
Mekanisme burden sharing beban pemerintah 0% untuk public goods dan diskon 1% atas SBN Khusus untuk UMKM dan Korporasi. Namun tidak ada pembelian SBN di tahun 2021 dan 2022
Kedua, dalam skema yang kedua ini, BI membeli SBN Khusus untuk pendanaan APBN Public Goods dengan total Rp397,56 triliun. Skenarionya, BI membeli SBN khusus 2020 sebesar Rp397,56 triliun saja dengan kupon SBN Khusus sama dengan BI reverse repo rate, tenor 3 bulan.
Mekanisme burden sharing tetap berdasarkan total SBN Rp574,56 triliun dengan rincian beban pemerintah 0%, semua beban BI untuk SBN khusus public goods sebesar Rp397,56 triliun.
Sementara itu BI juga menawarkan skenario diskon 4,06% (55%*Kupon SBN Pasar), beban pemerintah 3,30% untuk UMKM Rp123,46 triliun dan korporasi Rp 53,57 triliun.
Ketiga, pemerintah menerbitkan Zero Coupon Bonds kepada BI untuk pendanaan APBN Public Goods Rp397,56 triliun. Skema burden sharing untuk non-public goods – korporasi sama dengan untuk UMKM dengan beban pemerintah 3,30% (BI reverse repo rate dikurangi diskon 1%).
Zero coupon bonds adalah suatu obligasi yang tidak memberikan pembayaran bunga secara berkala atau tanpa kupon sebagaimana obligasi pada umumnya. Obligasi ini diperdagangkan dengan menggunakan harga diskonto (Bond Price) dari nilai nominal (Face Value).
Pemegang obligasi/investor berhak untuk menerima pembayaran secara penuh sebesar nilai nominal (Face Value) pada saat jatuh tempo obligasi. Investor menerima keuntungan berupa selisih antara harga diskonto (Bond Price) dan nilai nominal (Face Value) obligasi pada saat jatuh tempo.
Skenario zero coupon bonds untuk public goods, dilakukan dengan BI membeli SBN Khusus 2020 sebesar Rp397,56 triliun saja dengan kupon SBN Khusus sebesar 0% (Zero Coupon Bonds), tenor 5 tahun.
Mekanisme burden sharing tetap berdasar total SBN Rp 574,56 triliun dengan rincian beban pemerintah 0%, semua beban BI untuk SBN khusus public goods sebesar Rp397,56 triliun. Diskon 4,06% (55%*Kupon SBN Pasar), Beban Pemerintah 3,30% untuk UMKM Rp123,46 triliun dan Korporasi Rp53,57 triliun serta tidak ada pembelian SBN di tahun 2021 dan 2022.
Skema mana yang akan dipilih, belum final. Jadi wajar bila masih banyak kendala saat dilapangan khususnya belum mengegelontornya dana stimulus seperti yang diharapkan. Wajar pula bila pihak BI harus ekstra hati-hati agar kejadian serupa seperti kasus BLBI dan Bank Century tidak berulang.