Marketnews.id Segala upaya dilakukan Pemerintah untuk menutup kekurangan pendanaan yang berasal dari pembiayaan defisit, pembiaayan investasi dan utang jatuh tempo. Mengapa ada beda hitungan dengan versi Bank Indonesia.
Pemerintah memerlukan pembiayaan utang senilai Rp1.439,8 triliun pada tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan nilai tersebut berasal dari pembiayaan defisit, pembiayaan investasi senilai Rp1.006,4 triliun dan utang jatuh tempo senilai Rp433,4 triliun.
Sumber pembiayaan utang, didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN) senilai Rp1.334,0 triliun ditambah dengan penarikan pinjaman senilai Rp150,5 triliun.
“Sampai saat ini, sisa SBN [surat berharga negara] yang perlu dilakukan senilai Rp697,3 triliun. Ini dipenuhi lewat lelang di pasar domestik, ritel, private placement, dan valas. Semua terbuka dan akan kami lihat,” ujarnya dalam konferensi pres secara live streaming, Jumat (8/5/2020).
Adapun, realisasi SBN hingga 30 April 2020 senilai Rp376,5 triliun, program Pemulihan Ekonomi Nasional senilai Rp150 triliun, dan penurunan GWM perbankan senilai Rp110,2 triliun.
Sri Mulyani menyatakan pendanaan melalui SBN dalam rangka pandemi Covid-19 tidak dilakukan melalui seri khusus (pandemic bonds).
“Kami akan terbitkan SBN yang diidentifikasi, mana yang pengeluaran untuk pemulihan ekonomi. Sesuai dengan kesimpulan Komisi XI, Menkeu dan Bank Indonesia akan ada MOU terpisah terkiat program pemulihan ekonomi,” katanya.
Sebelumnya, Bank Indonesia mempertanyakan komitmen penerbitan surat utang pemerintah pada kuartal II hingga kuartal IV yang diperkirakan mencapai Rp856,8 triliun.
“Kalau Rp856,8 triliun, apakah ini sudah memperhitungkan SAL dan global bonds?” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Selasa (5/6/2020).
Sesuai penjelasan Menteri Keuangan dalam Raker Komisi XI DPR-RI minggu lalu (30/4/2020), jumlah kebutuhan pembiayaan APBN selama 2020 sebesar Rp1.439,8 triliun.
Dari jumlah ini rencana penerbitan SBN kuartal I hingga kuartal IV diperkirakan Rp856,8 triliun.
Menurut Perry, apabila diasumsikan penggunaan SAL dan global bonds sekitar Rp300 triliun, maka sisa penerbitan SBN Rupiah di dalam negeri pada peride kuartal II hingga kuartal IV seharusnya hanya sekitar Rp506,8 triliun.
“Artinya, rata-rata lelang SBN sekitar Rp28 triliun selama kuartal II sampai dengan kuartal IV/2020.” Jumlah ini diperkirakan sebagian besar dapat diserap pasar, baik investor domestik maupun asing.
Dengan mekanisme yang telah disepakati, jumlah pembelian SBN di pasar perdana oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan umum APBN ‘above the line’ diperkirakan maksimal sekitar Rp 125 triliun.
Hal ini memicu pertanyaan dari Komisi XI DPR RI. “Kok pakai konfirmasi? apakah ini belum dibahas di KSSK? Kenapa kok dikonfirmasi di rapat ini?” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Dolfie O.F.P.
“Ini sudah dibahas, ini angka bergerak. Sesuai kesepakatan bersama, pemerintah umumkan akan mendahulukan dana SAL, dana lain-lain, dan sumber sumber global,” jawab Gubernur BI.
Berdasarkan angka itu, dia menuturkan BI memperhitungkan SBN rupiah seharusnya kurang lebih Rp506 pada periode kuartal II hingga kuartal IV. Dari total tersebut, sesuai aturan dalam Perrpu No.1/2020, BI hanya akan menyerap Rp125 triliun dari pasar perdana untuk kebutuhan above the line.
Untuk skema ini, BI menegaskan ketentuannya sudah diatur bahwa imbal hasil tidak akan naik. Dia menambahkan diskusi kebutuhan SBN dan pelonggaran GWM untuk pemulihan ekonomi terus kami hitung.
“Prinsipnya untuk SBN itu tidak lebih dari biaya operasi moneter. Bukan tidak sharing burden. Kan pemerintah, punya rekening di BI kan itu mengkompensasi.”