All-out. Istilah ini mungkin cocok buat tim restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia Tbk, yang saat ini sedang dikejar target untuk negosiasi ulang seluruh utang yang akan jatuh tempo bulan Juni mendatang. Betapa tidak, maskapai penerbangan milik pemerintah ini sedang berjibaku untuk merestrukturisasi utang yang akan jatuh tempo. Mampukah manajemen baru Garuda ini merestrukturisasi utangnya.
Seperti diketahui, emiten maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menerima fasilitas pinjaman dari Bank BRI yang akan digunakan untuk modal kerja di tengah bencana pandemi virus corona (Covid-19).
Berdasarkan keterbukaan informasi, pinjaman itu terdiri dari fasilitas pinjaman jangka pendek dengan pokok pinjaman maksimum mencapai US$50 juta dan Rp2 triliun serta fasilitas Bank Garansi (Stand by Letter of Credit/SBLC) senilai US$200 juta.
Bank BRI memberikan jangka waktu pinjaman untuk seluruh fasilitas tersebut pada rentang 30 April — 21 Desember 2020.
Fuad Rizal, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko Garuda Indonesia, menyampaikan dasar pertimbangan untuk melaksanakan transaksi pinjaman perbankan tersebut lantaran adanya kebutuhan modal kerja perseroan dan anak usahanya yaitu PT Citilink Indonesia.
“Transaksi ini ditujukan untuk modal kerja perseroan termasuk, namun tidak terbatas, pada pembelian bahan bakar, sewa pesawat, dan kegiatan lainnya yang merupakan penunjang usaha utama perseroan,” tulis Fuad, seperti dikutip Rabu (6/5/2020).
Adapun, emiten bersandi saham GIAA tersebut akan menggunakan dana pinjaman untuk menjaga kelancaran penyediaan jasa dan operasional penerbangan selama masa pandemi.
Arus kas GIAA terancam seret setelah sejumlah larangan penerbangan dikeluarkan oleh pemerintah, baik Indonesia maupun negara mitra lainnya.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memproyeksikan masa pemulihan akan berlangsung selama 1 tahun hingga 5 tahun dan dinilai terlalu lama. Tidak dipungkiri pula, setelah pandemi ini berlalu akan ada perubahan perilaku masyarakat terhadap industri aviasi.
Menurutnya masyarakat akan mulai berpikir apakah untuk tetap dapat terbang kembali merupakan hal yang aman atas resiko penularan. Selain itu juga apakah perusahaan penerbangan serius untuk menanggapi soal penularan.
“Paradigma ini sedang kami pelajari. Kira-kira ke depan apa yang dibutuhkan dan perubahan ke depan pasca Covid-19. Terbang itu soal behavior. Ketika tak bisa mencapaikan situasi itu maka ya 5 tahun mungkin recovery,” jelasnya, Selasa (5/5/2020).
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, perseroan membukukan laba bersih senilai US$6,98 juta, berbalik untung setelah merugi US$231,15 juta pada 2018.
Total pendapatan usaha perseroan pada 2019, mencapai US$4,57 miliar, ditopang oleh pendapatan penerbangan berjadwal senilai US$3,77 miliar.
Sebelumnya, lewat keterangan resmi perusahaan maskapai milik negara ini di Bursa Efek Indonesia (BEI)Selasa (5/5), Garuda (GIAA) memohon dialog secara kontruktif ke para pemegang sukuk sebanyak US$ 500 juta atau Rp 7,75 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.500 per dollar AS.
“Permohonan ini menjadi panggilan dari penerbit sukuk (GIAA) untuk menjalin komunikasi dengan sukukholder dengan dialog kontrukstif dan terbuka,” ujar Fuad Rizal, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Tbk (GIAA), Selasa (5/5).
Tak hanya di BEI, Garuda Indonesia (GIAA) juga mengirimkan permohonan ke para pemegang sukuk Garuda Indonesia Global Sukuk Limited yang tercatat di Bursa Singapura untuk melakukan negosiasi pembayaran, seiring dengan kondisi perusahaan yang terkena dampak Covid-19.
Lewat surat GIAA, tertanggal 19 April 2020, Fuad meminta para pemegang sukuk mengungkap nilai pokok kepemilikan masing-masing investor melalui agen identifikasi perusahaan yakni D.F King. Ini terkait Garuda Indonesia Global Sukuk Limited yang akan jatuh tempo pada 3 Juni 2020.
Dalam laporan keuangan Garuda Indonesia (GIAA)tahun 2019, Garuda IndonesiaGIAA memiliki utang obligasi dari penerbitan Trust Certificates yang tidak dijamin sebesar US$ 500 juta.
Tercatat di Bursa Singapura, surat utang Garuda Indonesia ini dirilis 3 Juni dengan jangka waktu5 tahun. Ini artinya pada 3 Juni nanti utang ini jatuh tempo. Sukuk ini memiliki tingkat suku bunga tetap tahunan sebesar 5,95% yang dibayar setiap 6 bulanan yang dimulai 3 Desember 2015 sampai dengan 3 Juni 2020.
Saat itu, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited ( HSBC ) bertindak sebagai Penerima Delegasi, Agen Pembayar Utama. Per 31 Desember 2019, saldo utang obligasi syariah ini mencapai US$ 498,99 juta.
Fuad mengatakan, pandemi Covid-19 menciptakan tantangan yang begitu sulit bagi industri penerbangan secara global, termasuk GarudaIndonesia (GIAA).”Diskusi adalah bentuk upaya pengelolaan likuiditas secara proaktif di tengah tantangan tersebut,” ujar Fuad dalam surat tersebut.
Garuda Indonesia (GIAA) juga sudah menunjuk PJT Partners sebagai penasihat keuangan guna membantu proses negosiasi pembayaran sukuk tersebut. Garuda (GIAA)juga akan membentuk komite diskusi bersama dengan pemegang sukuk dan PJT Partners.
Laporan keuangan 2019 mencatat, dana hasil penerbitan sukuk tersebut dipakai untuk reprofiling portofolio utang perusahaan.