Marketnews.id Satu per satu asosiasi pengusaha mulai melontarkan keluhan dan harapannya dalam menanggulangi pendemi Covid-19. Bila dibelahan dunia lain gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi, bagaimana nasib pekerja di negeri ini.
Para pekerja di dunia terguncang oleh potensi resesi akibat penyebaran Covid-19. Hal ini ditunjukkan dengan melonjaknya angka pengangguran dan klaim pengangguran di seluruh dunia yang mencapai jutaan pada pekan ini.
Bahkan, International Labour Organization (ILO) mengingatkan bahwa ada pemutusan hubungan kerja massal hingga hampir 25 juta orang jika virus ini gagal dikendalikan. Potensi ini akan dialami seluruh dunia mulai Austria hingga Amerika Serikat (AS) yang akan merefleksikan resesi terburuk ketika dunia harus berhadapan dengan pandemi pada 1930.
“Kita akan melihat angka pengangguran di AS dan Eropa mulai menyentuh ke remaja. Jika melihat tekanan yang akan dialami AS dan Eropa, ini adalah goncangan tak terduga sejak resesi terburuk, dari skalanya,” kata Peter Hooper, Ketua Ekonom Global Deutsche Bank AG, dikutip dari Bloomberg, Sabtu (4/4/2020).
Tingginya angka pengangguran akan memberi tekanan kepada pemerintah dan bank sentral untuk mempercepat implementasi program stimulus bagi para pekerja yang terdampak.
Kegagalan dalam menangani pandemi ini berisiko membuat resesi lebih dalam sehingga memaksa para pembuat kebijakan untuk mengguyur lebih banyak stimulus.
JPMorgan Chase & Co. memprediksi tingkat pengangguran di negara maju bakal terkerek hingga 2,7 persen pada pertengahan tahun ini. Ketika ekonomi mulai pulih, lembaga ini masih memproyeksikan angka pengangguran sebesar 4,6 persen di AS dan 8,3 persen di Uni Eropa pada 2021.
Lalu bagaimana dengan reaksi dan antisipasi dunia usaha di dalam negeri. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyebut hingga saat ini telah ada 30 persen pabrikan yang mengalihkan lini produksinya menjadi bahan baku produksi alat pelindung diri (APD) dan masker.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta menyatakan industri TPT sampai sekarang masih menjaga serapan tenaga kerja. Namun demikian, lanjutnya, sampai saat ini telah ada dua pabrikan yang memilih untuk merumahkan tenaga kerjanya
“Kalau PHK [Pemutusan Hubungan Kerja] tidak akan, karena, yang pertama, pemerintah [sudah] serius dengan tekstil. Kedua, terkait dengan Covid-10, tekstil masih ke industri pendukung untuk pengadaan APD [alat pelindung diri],” katanya, kepada bisnis, Jumat (3/4/2020).
Menurutnya, hingga saat ini telah ada 30 persen pabrikan yang mengalihkan lini produksinya menjadi bahan baku produksi APD dan masker. Redma menilai pengalihan tersebut membuat rata-rata utilitas pabrikan hulu TPT dapar terjaga di sekitar 40 persen.
“Namun, kalau pabrik [yang masih hidup] utilitasnya di kisaran 60-70 persen. Level 40 persen itu dihitung dengan pabrikan yang sudah mati. Ini untuk pabrik serat dan benang,” jelasnya.
“Kalau [wabah COVID-19] bergulir sampai September 2020, kebutuhan APD [diramalkan] masih banyak. Kami [akan] hidup dari produksi APD dulu,” katanya.
Redma optimistis pabrikan tidak akan menempuh jalur PHK dalam waktu dekat. Pasalnya, lanjutnya, pemerintah telah memastikan ketersediaan pasar industri TPT dalam rapat terbatas di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.
Lain lagi dari Himpunan Industri Alat Berat (Hinabi). Himpunan ini meramalkan pabrikan alat berat pada semester I/2020 hanya akan mampu memproduksi sekitar 35-40 persen dari target akhir tahun. Biasanya pabrikan dapat memproduksi sekitar 55-60 persen dari target akhir tahun.
“Tadinya saya mencanangkan [pertumbuhan produksi minus] 7 persen [tahun ini], tapi di Maret kemarin saya memutuskan ini [menjadi minus] 15 persen. Jadi, tidak ada optimisme sekarang, tidak mengurangi karyawan sudah bagus,” ujar Ketua Hinabi Jamalludin, kepada bisnis, 3/4.
Jamalludin berujar pada tahun lalu alat berat yang berhasil diproduksi sebanyak 6.060 unit. Dengan kata lain,asosiasi merubah target awal 2020 sebanyak 5.636 unit menjadi 5.151 unit.
Adapun, utilitas akan turun dari sekitar level 60 persen menjadi sekitar 51 persen hingga akhir tahun ini. Jamalludin menyatakan sebagian pabrikan sudah mulai mengurangi tenaga kerjanya untuk meringankan beban arus kas.
“Total tenaga kerja industri alat berat [sekitar] 22.000 dengan kapasitas produksi [sekitar] 10.000 [unit per tahun]. Kalau sekarang [proyeksi produksi] 5.000 unit, apa iya kami bertahan dengan 22.000 tenaga kerja?” ujarnya.
Jamalludin telah meminta beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah agar tren penurunan produksi tidak berlanjut ke semester II/2020. Jamalludin setidaknya tiga proposal.
Pertama, memprioritaskan produk alat berat lokal daripada produk impor. Jamalludin menilai langkah tersebut perlu dilakukan agar pabrikan dapat mengeluarkan alat berat di gudang industri.
Oleh karena itu, Jamalludin menilai perlu adanya harmonisasi regulasi antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. “Caranya, kami minta implementasi TKDN [tingkat komponen dalam negeri]. Sekarang sudah di sekitar level 40 persen.”
Kemudian, peningkatan kompetensi sumber daya manusia industri alat berat denagn perumusan standar kompetensi kerja nasional (SKKNI) remanufakturing industri alat berat.
Di sisi lain, Jamalludin berharap kurs rupiah juga dapat kembali normal, setidaknya kembali ke posisi awal Maret di sekitar Rp14.900. Pasalnya, lanjutnya, asosiasi telah menurunkan target produksi menjadi minus 15 persen dengan acuan kurs tersebut.