Marketnews.id Dua lembaga berbeda memberi penilaian terhadap ekonomi makro Indonesia juga berbeda. Moody’s melihat lebih pesimistis tentang pertumbuhan. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) masih lebih Optimistik.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, kinerja perdagangan internasional Indonesia pada Januari 2020 terjadi defisit sebesar USD860 juta. Hal itu terjadi lantaran kinerja ekspor pada periode tersebut sebesar USD13,41 miliar. Sedangkan untuk nilai impornya tercatat sebesar USD14,28 miliar.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan bahwa kinerja ekspor pada Januari 2020 tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode Desember 2019 (month to month / mtom) sebesar 7,16 persen. Sementara itu jika dibandingkan dengan periode Januari 2019 terjadi penurunan sebesar 3,71 persen.
“Penurunan ekspor terjadi karena ada penurunan ekspor migas (minyak dan gas) sebesar 28,73 persen sementara non migasnya turun 5,33 persen (mtom),” ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Senin (17/2).
Suhariyanto menegaskan meskipun terjadi defisit, namun angka defisitnya lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Januari 2019 lalu. Tercatat pada periode tersebut angka defisit perdagangan mencapai USD1,06 miliar.
Dia menambahkan tekanan yang terjadi pada perdagangan internasional ini lantaran kondisi ekonomi global yang belum stabil seperti adanya pengaruh perang dagang, memanasnya geopolitik di negara-negara mitra dan juga fluktuasi harga komoditas internasional.
“Saat ini ekonomi global masih tidak stabil karena banyak persoalan dan banyak masalah geopolitik, kemudian fluktuasi harga komoditas yang terus terjadi dari waktu ke waktu,” pungkas dia.
Sementara itu, Moody’s memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat akibat risiko perlambatan ekonomi global seiring dengan penurunan permintaan komoditas dari China yang terdampak wabah virus corona.
“Kami memperkirakan pertumbuhan PDB akan melambat ke kisaran di bawah 5% pada 2020 karena pertumbuhan global yang masih belum memanas akibat permintaan komoditas dari China yang melemah setelah dihantam wabah virus corona,” ungkap VP dan Analis Senior Moody’s Anushka Shah dalam laporannya, Senin (17/2/2020).
Kendati melambat, Moody’s melihat ekonomi Indonesia cukup tangguh dibandingkan rata-rata negara dengan peringkat utang Baa sehingga berpotensi meningkatkan sejumlah pos penerimaan.
Anushka mencatat, penerimaan Indonesia termasuk di bawah rata-rata penerimaan negara-negara dengan peringkat utang Baa. Penerimaan negara Indonesia hanya 12,4% dari PDB, sementara negara lain dengan peringkat utang Baa mencatat rata-rata penerimaan sebesar 27,6%.
“Terendah dari semua kelompok peringkat utang. Pendapatan yang lemah juga membebani keterjangkauan utang,” ungkap Moody’s.
Untungnya, kendala ini diimbangi oleh disiplin fiskal yang dilandasi oleh kepatuhan yang sangat kuat terhadap plafon defisit sebesar 3,0% dari PDB. Defisit rendah telah membuat beban utang pemerintah berada di kisaran 30% dari PDB pada 2019, atau di bawah rata-rata kelompok negara dengan peringkat utang Baa sebesar 47,3%.
Di sisi eksternal, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar 2,7% pada tahun 2019, melebar dari level terendah 1,6% pada tahun 2017. Namun, ketahanan eksternal Indonesia cukup untuk menahan tingkat guncangan. Terbukti cadangan devisa kembali menguat pasca periode depresiasi mata yang sepanjang 2018 lalu.
Moody’s berharap reformasi yang bertujuan mengurangi sejumlah kendala struktural ekonomi dan fiskal akan terus berlanjut, meskipun kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir relatif lambat.