Marketnews.id Rasa khawatir dengan langkah Pemerintah Amerika yang akan melakukan pengetatan moneter, negara mitra dagang AS termasuk Indonesia sudah pasang kuda-kuda agar dampak tappering AS tidak berdampak langsung perekonomian nasional.
Para pejabat ekonomi Indonesia, sudah melakukan lobi dengan dengan negara perserta Presidensi G20 untuk menggunakan mata uang lokal dalam setiap transaksi. Upaya ini merupakan bagian dari strategi membantu menjaga stabilitas di pasar keuangan global saat stimulus era pendemi ditarik.
Pejabat ekonomi Indonesia mempromosikan perluasan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi, alih-alih dolar AS. Upaya ini merupakan bagian dari strategi untuk membantu menjaga stabilitas di pasar keuangan global saat stimulus era pandemi ditarik.
Sebagai pemangku presidensi G20, Indonesia dan sejumlah negara Asia telah memiliki kesepakatan bilateral untuk menyelesaikan transaksi dalam mata uang domestik. Kesepakatan yang disebut pengaturan penyelesaian mata uang lokal ( local currency settlement [LCS]) ini mampu memangkas permintaan dolar.
Nilai pertukaran mata uang bilateral antara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), China, Jepang dan Korea Selatan telah mencapai USD380 miliar, menurut Bank Rakyat China.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengaturan LCS seharusnya dapat direplikasi secara lebih luas secara global untuk mengelola guncangan. Terutama mengingat negara-negara berkembang menghadapi potensi arus keluar modal ketika negara-negara maju dengan perekonomian yang lebih besar memperketat kebijakan moneternya.
“LCS telah dimasukkan ke dalam agenda global karena ini juga dapat menciptakan jaring pengaman keuangan untuk transaksi keuangan antar negara, dan mengurangi risiko kerentanan akibat guncangan ekonomi global yang menyebabkan ketidakstabilan keuangan,” kata Sri Mulyani dalam seminar jelang pertemuan para menteri keuangan G20 dan gubernur bank sentral.
Diversifikasi mata uang akan mendukung stabilitas ekonomi, memungkinkan negara-negara untuk mempertahankan pemulihan mereka dari pandemi Covid-19, ujar Sri Mulyani seperti dikutip Reuters, Rabu, 16 Pebruari 2022.
Para pejabat ekonomi Indonesia telah menegaskan bahwa prioritas utama Indonesia dalam pertemuan G20 pekan ini adalah untuk memastikan bahwa keluarnya negara-negara maju dari kebijakan moneter yang ketat tidak menimbulkan guncangan.
Mudah dikalibrasi dengan baik, direncanakan dengan baik dan dikomunikasikan dengan baik, untuk membatasi dampaknya pada perekonomian negara berkembang.
Periode pengetatan moneter global sebelumnya telah memicu arus keluar modal dari negara-negara berkembang karena investor berbondong-bondong untuk menempatkan uang mereka di aset-aset safe-haven . Rupiah anjlok lebih dari 20% pada tahun 2013, dalam periode yang disebut ” taper tantrum “.
Dalam forum yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan bahwa pada tahun ini negara berkembang akan mampu mengatasi pengetatan moneter global, termasuk kenaikan suku bunga AS, “jauh lebih baik” dibandingkan dengan periode pengetatan sebelumnya.
Menurutnya, negara-negara emerging market , seperti Indonesia, memiliki kerangka kebijakan yang lebih baik, cadangan devisa yang lebih tinggi dan telah melakukan upaya untuk memperdalam pasar keuangan. Salah satunya dengan menerapkan kesepakatan LCS sebagai contoh.
Pengaturan LCS telah memotong eksposur dolar AS Indonesia sebesar USD2,53 miliar pada tahun 2021. Tahun ini Perry menargetkan peningkatan 10% pemanfaatan LCS.
BI terus berusaha untuk memperluas kesepakatan dengan negara lain, dan mengembangkan lebih banyak instrumen lindung nilai.