Marketnews.id Penyaluran gas Elpiji subsidi buat masyarakat miskin sebagian besar salah sasaran. Badan Anggaran DPR meminta Pemerintah mengatur kembali penyaluran gas subsidi buat masyarakat miskin agar tepat guna dan tepat sasaran.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah mengungkap, sebesar 76 persen dana penyaluran subsidi liquefied petroleum gas (LPG/elpiji) tiga kilogram telah salah sasaran, sehingga pemerintah didesak untuk segera memperbaiki data penerima elpiji bersubsidi.
Menurut Said Abdullah, hanya sebesar 24 persen dana penyaluran subsidi elpiji tiga kilogram yang diterima oleh masyarakat miskin. “Rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 24 persen dari subsidi elpiji tiga kilogram, sementara 76 persen dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu,” katanya dalam keterangan pers yang dilansir di Jakarta, Selasa (1/6).
Pada dasarnya, ujar Said, konstitusi telah mengamanatkan bahwa penyaluran subsidi seharusnya bersifat tertutup (by name by address), maka pemerintah harus memperbaiki data penyaluran subsidi elpiji tiga kilogram untuk Tahun Anggaran 2022.
“Saya melihat kebijakan manajemen pengelolaan subsidi yang digunakan selama ini masih memiliki kelemahan yang mendasar, mulai dari validitas data, pengendalian harga hingga volume,” ungkap Said.
Bahkan, lanjut dia, pengelolaan dana subsidi masih dihadapkan pada permasalahan exclusion error dan inclusion error dalam realisasi penyaluran subsidi. Indikasinya, banyak ditemukan pihak yang berhak menerima subsidi malah tidak tersentuh aliran dana subsidi. “Pihak yang seharusnya tidak berhak menerima, tetapi ikut menerima subsidi,” imbuhnya.
Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah harus memperbaiki dan melakukan pemutakhiran data penerima subsidi elpiji tiga kilogram, serta membenahi kebijakan di sektor minyak dan gas bumi, baik dari sisi produksi (lifting) maupun penerimaan.
Sehingga, menurut Said, hal ini bisa mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor migas pada tahun depan di tengah tren penurunan lifting migas dalam dua dekade terakhir. Dia menambahkan, penerimaan sektor migas juga mengalami kontraksi dalam kurun tiga tahun terakhir.
Kondisi itu tercermin dari pendapatan perpajakan (PPh) Migas dan pendapatan negara bukan pajak ( PNBP ) dari sektor migas yang semakin menurun. Penentuan skema gross split atau cost recovery yang sudah mengalami tiga kali perubahan juga menjadi persoalan di sektor migas.
“Saya berharap ada solusi bagi persoalan klasik yang selalu muncul, antara lain sumur dan fasilitas produksi migas yang telah menua, aktivitas eksplorasi baru yang belum memadai, peralatan teknologi yang ketinggalan hingga persoalan kebijakan dan kompleksitas birokrasi. Sehingga, persoalan ini tidak menjadi masalah permanen yang tidak terselesaikan,” paparnya.