Marketnews.id Sepanjang tahun lalu, Bisnis batubara dapat dikatakan jadi bisnis yang penuh tantangan. Selain permintaan menurun lantaran adanya pendemi Covid-19, harga jual yang rendah dan kurs yang melemah membuat bisnis batubara jadi sektor usaha yang terpapar karena pendemi.
Akhir tahun lalu tepatnya di Nopember 2020 harga jual batubara mulai meningkat akibat bergeraknya ekonomi China. Meskipun harga jual batubara sudah mencapai USD90,5 per ton dari sebelumnya sebesar USD 60 per ton. Tapi PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tidak mampu memanfaakan peluang naiknya harga untuk meningkatkan laba yang dicapai hingga kuartal pertama tahun ini.
Emiten pertambangan batubara ini mencatatkan penurunan kinerja pada kuartal I/2021 kendati harga batu bara dunia dalam tren kenaikan.
Berdasarkan laporan keuangan, emiten berkode saham PTBA itu membukukan pendapatan sebesar Rp3,99 triliun pada kuartal I/2021. Perolehan itu turun 22 persen dibandingkan dengan perolehan kuartal I/2020 sebesar Rp5,12 triliun.
Sejalan dengan itu, beban pokok pendapatan juga turun menjadi Rp2,97 triliun dibandingkan dengan beban pokok kuartal I/2020 sebesar Rp3,59 triliun.
Dari itu, PTBA membukukan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp500,51 miliar pada kuartal I/2021, lebih rendah 44,6 persen dibandingkan dengan perolehan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp903,24 miliar.
Di sisi lain, total liabilitas perseroan pada akhir Maret 2021 turun menjadi Rp6,9 triliun dibandingkan dengan posisi akhir 2020 sebesar Rp7,11 triliun. Liabilitas itu terdiri atas Rp3,7 triliun liabilitas jangka pendek dan Rp3,24 triliun liabilitas jangka panjang.
Sementara itu, total aset perseroan naik menjadi Rp24,5 triliun pada akhir kuartal I/2021 dari posisi Rp24,05 triliun pada akhir 2020. Total aset itu termasuk kas dan setara kas yang naik 2 persen dari posisi akhir 2020 menjadi Rp4,43 triliun pada akhir Maret 2021.
Kendati demikian, arus kas bersih yang diperoleh dari aktivitas operasi PTBA pada kuartal I/2021 turun drastis 59,9 persen menjadi Rp475,6 miliar dibandingkan dengan Rp1,18 triliun pada kuartal I/2020.
Adapun, kinerja keuangan PTBA turun kendati harga batu bara dunia tengah mengalami tren kenaikan. Sepanjang tahun berjalan 2021, harga batu bara Newcastle di bursa ICE naik 11,87 persen dan berada di posisi US$90,5 per ton pada penutupan perdagangan Kamis (29/4/2021).
Melihat trend penggunaan energi ke depan, manajemen PT BA sudah mulai mengantisipasi perkembangan energi baru dan terbarukan.
PT Bukit Asam Tbk. menyatakan fokusnya untuk pengembangan energi baru dan terbarukan guna mengantisipasi transisi energi bersih di masa depan. Perusahaan pelat merah itu bahkan melirik pengembangan bahan bakar nabati.
Direktur Utama Bukit Asam Suryo Eko Hadianto mengatakan pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan biofuel seiring dengan potensi yang dimiliki perseroan. Suryo mengungkapkan perusahaannya memiliki potensi lahan perkebunan kelapa sawit yang cukup besar.
“Kami masuk juga ke biofuel dan kami punya lahan luas perkebunan sawit yang bisa menghasilkan biofuel. Ini EBT kami akan pilih tanaman reboisasi yang hasilkan serapan pada karbon yang bagus kami mau masuk bisnis management karbon,” katanya dalam paparannya kepada media, Jumat (30/4/2021).
Dalam pengembangan EBT, Suryo mengatakan PTBA akan memaksimalkan potensi yang ada di internal perseroan saat ini. Lahan-lahan bekas tambang dengan luas tanah yang besar juga akan dioptimalkan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya.
Menurut dia, dalam pengembangan PLTS, salah satu isu utamanya adalah mahalnya pembebasan lahan yang akan digunakan. Dengan potensi yang sudah dimiliki saat ini, pihaknya optimistis bisa bersaing dalam bisnis EBT.
Suryo menjelaskan, dari masing-masing lahan pascatambang yang dimiliki akan terpasang PLTS dengan kapasitas 200 megawatt (MW). Adapun saat ini pihaknya tengah mengurus proses untuk mendapatkan independent power producer (IPP).
“PTBA menguasai banyak lahan yang cukup luas dan sudah dibebaskan area bekas tambang ini harus dioptimalkan, biaya pembebasan lahan cukup besar bagi perusahaan lain di pembangkit PLTS, jadi kami yakin dengan lahan yang kami punya tidak menjadio bagian cost, sehingga kami bisa kompetitif dan diterima nantinya,” jelasnya.