Marketnews.id Pemerintah lewat Kementrian Keuangan punya hajat besar untuk memulihkan roda ekonomi akibat terpapar Covid-19. Bila sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan beberapa stimulus untuk menolong dunia usaha kecil dan menengah serta perbankan yang tersandera kredit bermasalah karena debiturnya terpapar Covid-19.
Kini giliran kelompok usaha besar seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Korporasi swasta yang terpapar Covid-19 akan dibantu oleh pemerintah baik melalui penambahan modal buat BUMN maupun pengurangan pajak buat pihak korporasi besar.
Untuk membiayai pemulihan BUMN dan Korporasi besar ini, Pemerintah menyiapkan dana sekitar Rp 318,09 triliun. Suatu jumlah yang fantastis dan sangat rawan moral Hazard buat penyelenggara negara maupun penerima bantuan.
Bagaimana proses penentuan hingga diputuskan perusahaan mana yang berhak mendapat manfaat pemulihan ekonomi dari pemerintah. Kisah penyaluran Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998 lalu terhadap perbankan yang dimiliki oleh konglomerat saat itu, bisa jadi pelajaran berharga. Harapannya, agar peristiwa tersebut tidak terulang dalam program pemulihan ekonomi nasional.
Pemerintah menginginkan agar pembiayaan untuk Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bisa dibiayai dengan imbal hasil yang murah.
Untuk membiayai Program PEN, tertulis dalam Pasal 21 dari PP No. 23/2020 bahwa pemerintah dapat menerbitkan SBN yang dibeli oleh BI pada pasar perdana.
Pemerintah dapat menerbitkan SBN yang dibeli oleh BI di pasar perdana dan pembeliannya dilakukan secara bertahap berdasarkan kebutuhan riil Program PEN. Hasil penerbitan SBN nantinya akan disimpan dalam suatu rekening khusus di BI.
Ketentuan mengenai cara mengelola rekening khusus ini akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Ketentuan mengenai skema dan mekanisme pembelian SBN oleh BI di pasar perdana untuk membiayai Program PEN diatur bakal diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Lebih lanjut, ditegaskan pula bahwa pengaturan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI harus memuat tingkat imbal hasil yang memperhitungkan pembagian biaya dan risiko antarpemangku kepentingan sesuai kewenangannya masing-masing.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan, formulasi dari pembiayaan Program PEN masih diformulasikan dan diupayakan bisa seminimum mungkin.
“Ini terus dibicarakan dan dengan BI, harapannya pembiayaannya seminimum mungkin. Ini bukan ego lembaga, dengan prinsip PEN itu, beban dan risiko antar stakeholder dibagi dan mudah-mudahan tercermin jelas. Berapa persisnya pembagiannya? Nanti kita lihat,” kata Febrio, Rabu (13/5/2020).
Yang jelas, peranan BI untuk pembiayaan Program PEN yang below the line kemungkinan akan berbeda bila dibandingkan dengan peranan BI di pasar perdana untuk pembiayaan anggaran above the line.
Untuk kebutuhan pembiayaan above the line, BI dan Kemenkeu telah bersepakat untuk membatasi jumlah maksimal pembelian nonkompetitif BI pada SUN sebesar 25 persen dan pada SBSN sebesar 30 persen.
Meski demikian, BI sebelumnya telah mengusulkan agar SBN yang dibeli oleh BI untuk Program PEN adalah SBN yang bisa diperjualbelikan agar bisa digunakan untuk repo dan operasi moneter. BI juga mengusulkan agar bunga SBN tidak lebih rendah dari biaya operasi moneter.
Hal ini diperlukan agar BI dapat melakukan kontraksi operasi moneter ke depan untuk menghindari kenaikan inflasi karena belimpahnya likuiditas ke depan.