Marketnews.id Kisrus soal PT Garuda Indonesia Tbk belum juga usai. Sambil menunggu Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), langkah manajemen juga mulai tersendat. Setidaknya, rencana perseroan untuk menerbitkan surat utang tertuda. Padahal restrukturisasi utang merupakan langkah manajemen agar perusahaan terus dapat beroperasi dengan lancar.
Seperti diketahui, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mengurungkan niatnya untuk menerbitkan sukuk senilai US$900 juta yang akan digunakan untuk me-refinancing utang jangka pendek yang dimiliki perseroan.
Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan perseroan, pembatalan rencana tersebut dengan pertimbangan belum tersedianya laporan keuangan limited review atau laporan keuangan audit perseroan sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPSLB.
Adapun sebelumnya perseroan berencana menerbitkan global sukuk atau instrument keuangan lainnya dengan jumlah maksimum sebesar US$900 juta yang bertujuan untuk pelakasanaan refinancing utang perseroan.
Adapun per September 2019, total utang emiten berkode saham GIAA tersebut berjumlah US$1,6 miliar, lebih rendah 12% dibandingkan dengan catatan per kuartal II/2019 senilai US$1,66 miliar.
Total utang jangka pendek GIAA pada periode tersebut adalah senilai US$1,43 miliar atau sebesar 89,5% dari total utang yang dimiliki perseroan. Jumlah itu tercatat menurun 14,4% dibandingkan utang jangka pendek per kuartal II/2019 senilai US$1,51 miliar.
Sementara itu, utang jangka panjang perseroan per September 2019 tercatat sebesar US$112,3 juta, meningkat 44,5% dibandingkan dengan catatan per kuartal II/2019 sebesar US$94,8 juta.
Biaya leasing turut memberikan kontribusi sebesar 3,5% terhadap total utang perseroan. Sepanjang Januari 2019–September 2019, total utang leasing tercatat sebesar US$56,1 juta, lebih rendah 16% dibandingkan per Juni 2019 sebesar US$59,7 juta.
Sebelumnya, GIAA sedang membidik untuk mendapatkan dana segar senilai US$900 juta untuk melakukan pembayaran utang jangka pendek yang akan jatuh tempo.
Seperti diketahui, emiten maskapai penerbangan pelat merah itu membidik tiga opsi pendanaan penerbitan sukuk global, obligasi melalui skema private placement, dan dengan skema peer to peer landing.
Dalam prospektus yang disampaikan perseroan, untuk opsi pendanaan pertama yaitu dari penerbitan sukuk global dengan jumlah maksimum US$750 juta atau Rp 10,49 triliun. Tingkat bunga masih negoisasi.
Untuk bunga akan dibayarkan secara periodik kepada pemegang sukuk global tiap enam bulan. Sedangkan utang pokok Global Sukuk akan dibayarkan seluruhnya dan sekaligus pada tanggal jatuh tempo, paling lambat pada 2024 atau periode lain yang disetujui para pihak yang terlibat. Tingkat bunga masih dalam negosiasi.
Opsi pendanaan kedua yaitu obligasi lewat mekanisme private placement, dengan nilai maksimum US$ 750 juta atau setara Rp 10,49 triliun. Tingkat bunga untuk obligasi ini juga masih dalam proses negosiasi.
Rencananya, bunga akan dibayarkan setiap tiga bulan atau enam bulan. Sedangkan pokok obligasi akan dibayarkan sekaligus pada tanggal jatuh tempo obligasi, paling lambat pada 2024 atau periode lain yang disetujui para pihak.
Sementara itu, opsi pendanaan yang terakhir yaitu pendanaan dengan skema peer to peer lending (P2P Lending) dengan jumlah sebanyak-banyaknya sebesar US$500 juta. Tingkat bunga untuk pendanaan ini pun sedang dalam proses negosiasi, namun rencananya bunga akan dibayarkan setiap tiga bulan. Sedangkan pokok akan dibayarkan sekaligus pada tanggal jatuh tempo paling lambat pada 2024.
Semua rencana di atas terpaksa di tunda sambil menunggu keputusan manajemen baru dan hasil akhir audit keuangan perseroan. Padahal, silang pendapat soal laporan keuangan perseroan juga masih menjadi polemik. Mampukah manajemen baru Garuda Indonesia menyehatkan kembali perusahaan hingga dapat terbang dan mendapat predikat sebagai maskapai penerbangan terbaik dalam ketepatan waktu.