MarketNews.id-Rencana PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), untuk menerbitkan surat utang senilai Rp2,3 Triliun dari rencana total Rp20 Triliun tampaknya akan berjalan mulus.
Apalagi lembaga pemeringkat Fitch Rating Indonesia memberikan peringkat nasional jangka panjang AA+ (Double A Plus) buat rencana penerbitan obligasi Rp1, 7 Triliun dan Sukuk Rp600 Miliar milik TBIG.
Penerbitan ini merupakan tahap kedua dari program pendanaan total Rp20 Triliun (obligasi) dan Rp 8 Triliun (Sukuk) yang akan digunakan buat ferinancing utang dan pinjaman bank.
PT Fitch Ratings Indonesia memutuskan untuk memberikan peringkat nasional jangka panjang AA+ (Double A Plus) untuk rencana penerbitan obligasi dan sukuk PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) senilai masing-masing Rp1,7 triliun dan Rp600 miliar.
Berdasarkan laporan Fitch yang dikirim melalui surat elektronik, Kamis 6 November 2025, peringkat tersebut setara dengan peringkat nasional jangka panjang TBIG sebagai perusahaan, karena kedua instrumen itu merupakan kewajiban senior tanpa jaminan perseroan.
Seperti diketahui, rencana penerbitan surat utang ini merupakan tahap kedua dari program obligasi dengan total target penghimpunan dana Rp20 triliun dan program sukuk sebesar Rp8 triliun.
Hasilnya penjualan obligasi ini akan digunakan untuk refinancing obligasi dan pinjaman bank yang masih berjalan.
Fitch menjelaskan, peringkat AA pada skala nasional menunjukkan risiko gagal bayar yang sangat rendah dibandingkan dengan penerbit lain di Indonesia, hanya sedikit di bawah peringkat tertinggi (AAA) yang diberikan di Indonesia.
Lebih lanjut Fitch menyampaikan, peringkat sukuk TBIG disetarakan dengan peringkat kredit jangka panjang perusahaan, karena gagal bayar atas kewajiban senior tanpa jaminan dianggap sama dengan gagal bayar oleh TBIG sendiri.
Sukuk ini memiliki tingkat prioritas yang sama (pari passu) dengan utang senior tanpa jaminan milik perseroan lainnya.
Dalam struktur penerbitan, Fitch menilai kemampuan TBIG untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemegang sukuk sepenuhnya bergantung pada kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran tidak terjaminnya kepada wali amanat (trustee).
Dokumentasi sukuk juga mencakup ketentuan seperti laporan keuangan berkala, negative pledge, cross-default dan covenant lain yang sejalan dengan ketentuan pada obligasi konvensional TBIG.
Transaksi sukuk akan diatur berdasarkan hukum Indonesia, dan Fitch tidak memberikan opini mengenai kepatuhan hukum atau aspek syariahnya.
Namun demikian, Fitch menilai bahwa TBIG akan tetap bertanggung jawab penuh atas kewajiban pembayaran sukuk sesuai perjanjian.
TBIG berdasarkan standalone profile dengan mempertimbangkan hubungan perusahaan dengan Bersama Digital Infrastructure Asia Pte Ltd ( BDIA ) sebagai induk.
Fitch beranggapan, profil kredit konsolidasi BDIA setara dengan TBIG, karena skala bisnis induk di luar TBIG jauh lebih kecil.
Adapun kepemilikan publik atas saham TBIG sebesar 9 persen, sehingga setiap transaksi afiliasi dengan BDIA atau entitas terkait harus mendapatkan persetujuan pemegang saham independen, serta pengungkapan kepada otoritas pasar modal.
Mengacu pada riset Fitch, rasio leverage bersih terhadap EBITDA TBIG diperkirakan tetap stabil di kisaran 4,9-5 kali pada 2025-2026 (2024: 5,0x).
Manajemen TBIG berkomitmen untuk mempertahankan target leverage maksimal 5x dengan fleksibilitas untuk menyesuaikan pembayaran dividen, yang diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun hingga Rp1,3 triliun per tahun.
Fitch juga menilai, potensi peningkatan tingkat non-renewal sewa menara dari PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk (EXCL) pada 2025-2026 masih dapat dikelola dan tidak akan berdampak signifikan terhadap profil kredit TBIG.
Perseroan merupakan operator menara telekomunikasi terbesar ketiga di Indonesia, dengan pangsa 20 persen dari total menara nasional. Industri menara di Indonesia kini berbentuk oligopoli, dengan tiga pemain utama menguasai 85 persen pasar.
M Rizki A
MarketNews.id Media Investasi dan Pasar Modal