Marketnews.id Berharap negeri ini segera menghasilkan energi terbarukan, tampaknya masih memerlukan jalan panjang. Hal ini terungkap saat paparan dari Kadin di hadapan komisi VII DPR RI.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Halim Kalla memaparkan, sejumlah hambatan dalam pengembangan investasi di bidang energi baru terbarukan di hadapan Komisi VII DPR.
“Regulasi yang berubah-ubah memperburuk iklim investasi di Indonesia di bidang energi baru terbarukan,” kata Halim seperti dikutip Antara dalam rapat dengar pendapat umum Komisi VII DPR di Jakarta, Senin.
Selain itu investor juga menilai pemerintah kurang berkomitmen dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan sehingga kebijakan terkesan kurang mendukung investasi tersebut.
Kemudian, penetapan harga tanpa tingkat pengembalian investasi yang layak untuk proyek energi baru terbarukan telah mengurangi minat investor.
Halim juga menyebutkan, insentif yang diberikan dianggap kurang menarik. “Pemberian tax holiday dan tax allowance hanya 5 tahun, padahal 5 tahun pertama setelah operasi, proyek masih cash flow,” katanya.
Terkait dengan modal, perbankan nasional juga tidak memberi perhatian khusus untuk pembiayaan energi baru terbarukan.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif sempat mengatakan bahwa pemerintah menyediakan berbagai insentif di bidang fiskal, seperti tax allowance, pembebasan pajak bumi dan bangunan, serta bea masuk impor.
Selain itu, untuk mengurangi risiko kontraktor, pemerintah juga menginisiasi skema pembangunan PLTP di mana pengeboran dilakukan pemerintah.
“Pemerintah menyediakan skema pembangunan PLTP, di mana aktivitas eksplorasi dilakukan oleh pemerintah,” ujar Menteri ESDM.
Saat ini pemerintah juga sedang menyiapkan peraturan presiden untuk meregulasi kembali harga energi terbarukan.
“Ini dilakukan untuk menarik investasi di sektor EBT [energi baru terbarukan], termasuk pada pengembangan panas bumi,” jelas Menteri ESDM.
Perihal peliknya investasi energi terbarukan khususnya panas bumi juga sempat disorot Bank Dunia yang mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Satu Kahkonen, World Bank Country Director for Indonesia and Timor Leste, mengatakan bahwa regulasi tarif menjadi salah satu hambatan utama dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Menurutnya, Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 yang mengatur harga beli listrik panas bumi disesuaikan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) daerah setempat membuat pembangkit panas bumi sulit bersaing dengan pembangkit batu bara yang harganya disubsidi pemerintah.
“Proyek panas bumi skala besar perlu tarif sekitar US$0,10—US$0,12 per kWh untuk memungkinkan pengembalian ekuitas yang memadai kepada pengembang, sedangkan rata-rata harga pembangkit batu bara di kisaran US$0,07—US$0,09 per kWh. Ini sangat sulit bagi panas bumi untuk masuk ke dalam pasar,” kata Satu dalam acara Digital Indonesia International Geothermal Convention 2020, Selasa (8/9/2020).
Hambatan lain dalam pengembangan panas bumi adalah terkait proses tender dan perolehan izin pengembangan panas bumi.
Satu menilai skema perolehan izin pengembangan panas bumi melalui penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE) belum memberian insentif secara efektif terhadap aktivitas eskplorasi.
“Hal ini karena setelah investor menghabiskan jutaan dolar untuk pengeboran eksplorasi, mereka tidak mendapat jaminan mereka mendapat hak untuk mengembangkan secara penuh proyek panas bumi tersebut. Mereka tetap harus bersaing dulu dengan pengembang lain untuk mengembangkan wilayah tersebut. Dengan kata lain investasinya terbuang,” katanya.