Marketnews.id Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam dua bulan terakhir telah menjadi sorotan publik. Setelah kasus manajemen PT Garuda Indonesia Tbk, beruntun kasus lain yang juga terungkap. Mulai dari asuransi Jiwasraya, dan asuransi Bumiputera. Belum lagi masalah BUMN yang terus menerus rugi.
Pemerintah lewat BUMN, harus kerja keras menyelesaikan kasus BUMN ini secepat mungkin. Mengingat tantangan di depan begitu kompleks dan iklim usaha yang juga kurang kondusif.
Seperti diketahui Internasional Monetary Find (IMF) dalam laporan nya telah memprediksi bahwa resesi ekonomi global sudah di depan mata.
Pertumbuhan ekonomi global pada tutup tahun ini pun diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 3%. Artinya terjadi kemerosotan dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang mampu tumbuh 3,6%.
Lebih dalam IMF memaparkan, bahwa kelesuan ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi negara-negara maju semakin melembek bahkan diproyeksikan akan berada di level 1,7% di tahun ini dan tahun depan.
Sementara untuk negara berkembang juga terpangkas ke 3,9% di 2019 setelah pada 2018 mampu tumbuh 4,5%.
Lantas, bagaimana kelesuan ekonomi global ini berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Lembaga penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ini akan mengalami stagnansi di kisaran 5%.
Dalam catatan akhir tahun yang ditulis oleh ekonom perempuan Indef Aviliani, Eisha Maghfiruha Rachbini, dan Esther Sri Astuti, penyebab melempemnya pertumbuhan ekonomi tahun ini disebab pendapatan negara yang masih bertumpu pada konsumsi.
“Ditambah lagi, ekspor Indonesia masih terkendala dengan penurunan harga komoditas dan dampak perang dagang,” terang Indef yang dikutip pada Sabtu (21/12/2019).
Investasi di Indonesia juga tercatat bakal mengalami perlambatan yang signifikan mulai kuartal III-2019 ini.
“Sepanjang periode itu, investasi Indonesia hanya mampu tumbuh pada angka 4,21% setelah kuartal sebelumnya mampu tumbuh hingga 5.01%,” sambungnya.
Indef mencatat bahwa stabilitas Rupiah yang belakangan terjadi sebab kerana bertumpu pada derasnya aliran dana-dana jangka pendek (hot money).
Hot money deras mengalir ke Indonesia karena tingkat bunga RI masih lebih menggiurkan bagi investor dibanding negara-negara lain.
Akan tetapi, menurut Indef, derasnya aliran modal ini justru perlu diwaspadai. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap potensi pembalikan modal ke luar negeri tetap diperlukan guna mengantisipasi dampak negatif dari hot money tersebut.
Dalam Catatan Akhir Tahun Indef, LDR sejak 2018 meningkat hingga 94,3% pada Kuartal III-2019 yang disebabkan karena pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang stagnan.
Sedangkan, pertumbuhan kredit terus meningkat signifikan selama dua tahun terakhir.
Perlambatan DPK juga terjadi karena adanya perebutan dana (crowding out effect) antara obligasi pemerintah dengan dana masyarakat.
Indef memprediksi pertumbuhan kredit RI sepanjang 2020 mendatang bakal tetap loyo.
Menurut Indef, laju kredit domestik tahun depan akan tetap berada di level single digit atau tak akan sampai 10%.
Indef menyebut, jumlah bank eksisting di Indonesia terlampau banyak.
Untuk ukuran Indonesia, menurut Indef, idealnya hanya terdapat 50-70 bank eksisting. Akan tetapi, saat ini
jumlah bank eksisting di Indonesia sudah lebih dari 100 bank.
Untuk itu, mencegah hal tersebut terjadi, Indef menilai pentingnya dilakukan percepatan konsolidasi perbankan yang ada. Begitu banyak catatan yang harus dilakukan Pemerintah termasuk BUMN di dalam nya. Belum lagi sektor swasta dan korporasi. Kerja keras dan berat sudah menantang. Mampukah perekonomian kembali bangkit, dimana BUMN dan korporasi sebagai pendamping pembangunan mendapatkan tugas berat agar ekonomi RI kembali.bangkit.