MarketNews.id Bervariasinya tekanan yang dihadapi oleh negara Eropa dan Amerika khususnya laju inflasi membuat analis masih memprediksi tingkat bunga masih akan terus naik dan Rupiah masih akan alami tekanan.
Dengan memperhatikan perkembagnan selama sepekan terakhir, berikut pendapat Ashmore dalam Weekly Commentary , Jumat 14 Oktober 2022.
Apakah sekarang ini merupakan permainan mata uang?
Ashmore mencatat, karena kenaikan terus-menerus meskipun bertahap prospek dan aktual suku bunga The Fed, Rupiah dan banyak mata uang EM lainnya melemah. Rupiah mencapai titik terlemah sejak Mei 2020, sekitar Rp15.400 per dolar AS. Secara YTD, Rupiah sudah melemah 8,04% dan indeks DXY naik 17,49%, mencapai level tertinggi sejak April 2002 pada akhir September, dan terus bertahan kuat.
Menurut Ashmore, konsensus pasar masih mengekspektasikan The Fed akan menaikkan suku bunga dalam beberapa rapat mendatang, dan secara bertahap akan mengurangi besarnya kenaikan suku bunga hingga Mei 2023.
“Jika hal lainnya tidak berubah, Rupiah dapat terus melemah relatif terhadap USD dalam waktu dekat,” tulis Ashmore.
“Pasar global telah berkinerja buruk, termasuk pasar yang berdenominasi dolar AS. Saat ini, S&P 500 telah turun 23,49% YTD, dan imbal hasil US Treasury 10 tahun telah naik 159,43% YTD, dari 1,51% menjadi 3,92%.
Tapi Indonesia memang tangguh, bukan?
Ashmore juga mencatat, alokasi asing ke pasar Indonesia, berdasarkan aliran bersih, sudah negatif YTD. Ekuitas masih menerima arus masuk dana asing sebesar Rp72 triliun YTD (arus masuk Rp2,68 triliun MTD) karena proxy ke harga komoditas dan dampak positif pada pola konsumsi dan likuiditas perbankan umum.
Namun, surat utang terus berada di bawah tekanan dengan outflow sebesar Rp164 triliun YTD ( outflow Rp6,98 triliun MTD). “Arus negatif ini juga menjadi salah satu penyebab pelemahan Rupiah akhir-akhir ini, meskipun dalam tren yang lebih tangguh dibandingkan mata uang lainnya,” sebut Ashmore.
Oleh karena itu, Ashmoe berpendapat, risiko utama Indonesia adalah prospek komoditas. Kita telah melihat bahwa pertumbuhan harga komoditas secara bertahap melambat.
Di tengah ketegangan di seluruh dunia dan banyak negara yang mengambil kebijakan proteksionisme, harga komoditas mungkin tetap cukup tinggi dalam jangka menengah, memungkinkan aliran modal ke sektor tersebut. “Jika komoditas tetap tangguh, tekanan penurunan cadangan devisa Indonesia dapat melambat,”ungkap Ashmore.
Dengan mencermati kondisi tersebut Ashmore masih merekomendasikan overweight pada ekuitas dan mempertahankan sikap hati-hati terhadap obligasi karena risiko mata uang dan kenaikan suku bunga.
“Dengan bersiap menghadapi ketidakpastian, kami percaya bahwa strategi ekuitas defensif dengan sektoral/tema dapat menjadi kombinasi yang solid dalam waktu dekat.”