Marketnews.id Secara ekonomis masalah yang dihadapi oleh maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sudah tidak dapat diselamatkan. Jumlah aset yang dimiliki oleh GIAA tidak sebanding dengan jumlah utang yang dimiliki oleh perseroan.
Ingin bernegosiasi ulang dengan lessor yang notabene nakal juga tidak sehat. Tapi pemerintah tetap memberi kesempatan kepada manajemen GIAA dan para konsultan yang telah ditunjuk untuk bernegoisasi dengan lessor, kreditur, hingga pemegang obligasi dan Sukuk perseroan. Negosiasi bisa lewat jalur hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan.
Masalahnya, pantaskah maskapai penerbangan pembawa bendera negara ini di selamatkan lantaran ulah beberapa oknum buat kepentingan pribadi atau kelompoknya. Buntutnya, masalah yang dihadapi oleh maskapai ini bukan lagi semata masalah bisnis. Tapi sudah masuk pada ramah yang lebih kompleks lagi.
Pemerintah menyatakan komitmennya untuk terus mendukung upaya penyelamatan Garuda Indonesia (PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Berbagai langkah strategis yang sedang dan akan berjalan dipastikan akan terus dilakukan sebab pemerintah tidak ingin flag carrier tersebut bangkrut.
“Saya harus menekankan bahwa pemerintah tidak ingin membuat Garuda Indonesia bangkrut. Apa yang kami cari adalah penyelesaian utang baik di luar proses pengadilan atau melalui proses pengadilan,” kata Wakil Menteri II BUMN , Kartika Wirjoatmodjo dalam siaran persnya, Kamis 4 Nopember 2021.
Ia juga mengatakan bahwa saat ini managemen Garuda Indonesia tengah dalam pembicaraan dengan kreditor untuk merestrukturisasi utang. Diharapkan pembicaraan untuk mencapai kesepakatan pada kuartal kedua 2022 dapat dilakukan.
“Kami sedang bernegosiasi dengan banyak pihak dengan kebutuhan yang berbeda, sehingga preferensi mereka bervariasi,” kata Wirjoatmodjo.
Pada kesempatan terpisah, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto mengatakan bahwa saat ini Garuda Indonesia berada di situasi yang pelik. Dan usaha negosiasi ulang dengan para lessor membutuhkan kerja yang ekstra.
“Sejauh ini, langkah terbaik yang didorong adalah penyelamatan melalui negosiasi ulang dengan para lessor. Hal tersebut yang kami lihat sedang diupayakan manajemen Garuda Indonesia saat ini. Hal Itu membutuhkan waktu panjang karena ada puluhan lessor” katanya.
Toto juga mengatakan Garuda Indonesia memang masuk pada situasi terburuk yang pernah dialami. Era yang sama saat Robby Djohan masuk di sekitar awal 2000-an menghadapi Garuda Indonesia yang terpuruk karena salah urus. Dan Situasi saat ini lebih kompleks. Sebab, kata dia, selain ”warisan” salah urus manajemen sebelumnya, Garuda Indonesia menghadapi situasi dampak pandemi Covid-19 yang memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha industri penerbangan dunia.
“Garuda Indonesia butuh upaya restrukturisasi yang radikal terkait negosiasi dengan lessor dan kreditur,” katanya.