Home / Otoritas / Bursa Efek Indonesia / Ashmore : Tren Suku Bunga Masih Turun, Investor Sebaiknya Tambah Durasi Portofolio Untuk Optimalkan Imbal Hasil

Ashmore : Tren Suku Bunga Masih Turun, Investor Sebaiknya Tambah Durasi Portofolio Untuk Optimalkan Imbal Hasil

MarketNews.id-Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan pekan kedua Oktober, Jumat (10/10), dengan mencatatkan kenaikan tipis indeks IHSG +0,08% di posisi rekor penutupan tertinggi 8.258, setelah sehari sebelumnya mencatatkan rekor intraday tertinggi di level 8.273. Akhir pekan sebelumnya IHSG ditutup di posisi 8.118.

Sementara itu investor asing di pasar saham mencatatkan arus masuk sebesar USD150 juta sepanjang pekan.
 
PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting sepanjang pekan, antara lain;

Apa yang terjadi selama pekan ini?
Ashmore mencatat sektor yang berkinerja terbaik pekan ini adalah Transportasi & Logistik dan Energi, masing-masing naik +10,32% dan +6,95%. Sektor yang tertinggal adalah Keuangan, yang turun -1,32%.
Sedangkan pemain terbaik pekan ini adalah Indeks Nikkei (+5,07%) dan harga emas (+2,77%), sedangkan terjadi koreksi terbesar terjadi pada Indeks Hang Seng (-3,13%) dan harga batu bara (-1,62%).

Asmore juga mencatat, shutdown  pemerintahan AS masih berlanjut hingga akhir pekan ini, sehingga memperpanjang masa tanpa publikasi data resmi di negara itu. Sementara itu, Kanada mencatat data Indeks Manajer Pembelian (PMI) Ivey yang terkuat dalam 16 bulan terakhir, meski defisit perdagangan meningkat karena penurunan ekspor.

Di kawasan Eropa, penjualan ritel bulanan meningkat tipis sesuai ekspektasi setelah penurunan bulan sebelumnya. Namun, PMI konstruksi justru turun tak terduga, menandakan kontraksi sektor yang lebih besar dari perkiraan. Kepercayaan bisnis di sektor konstruksi tetap rendah selama empat bulan berturut-turut dengan sentimen negatif.

PMI konstruksi Inggris juga mencatat kontraksi, namun lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. Harga rumah terus melambat, mencatat kenaikan tahunan paling lemah sejak April 2024.

Sebaliknya, Jerman mencatat kenaikan surplus perdagangan yang tak terduga karena impor turun lebih tajam daripada ekspor.

Namun demikian, produksi industri negara itu mencatat penurunan bulanan terbesar sejak Maret 2022, terutama disebabkan oleh sektor otomotif.

Di Asia, surplus neraca berjalan Jepang meningkat lebih tinggi dari perkiraan karena impor turun lebih cepat daripada ekspor.

Sementara itu, pengeluaran rumah tangga meningkat ke level tertinggi sejak Mei, didukung oleh kebijakan pemerintah.

“Di sisi lain, Indonesia mencatat penurunan cadangan devisa akibat pembayaran utang luar negeri dan intervensi bank sentral untuk menstabilkan nilai tukar,” tulis Ashmore.

AS masih dalam ketidakpastian
Ashmore mencermati, pekan ini pemerintah AS terus mengalami shutdown  dan telah melampaui rata-rata durasi historis selama 8 hari.

Meskipun  shutdown  terpanjang sebelumnya mencapai 35 hari pada masa pemerintahan pertama Trump, pasar AS tetap relatif tenang menghadapi situasi ini.

“Meski belum ada kemajuan menuju penyelesaian, indeks saham AS justru bergerak naik sejak shutdown  dimulai bulan ini. Pasar tetap memperkirakan adanya dua kali pemangkasan suku bunga hingga akhir tahun,” imbuh Ashmore.

Meskipun  shutdown  masih berlangsung, Indeks Dolar AS (DXY) menguat ke 99,33 dibandingkan 97,78 di akhir September, karena mata uang utama lain seperti euro (EUR) dan yen Jepang (JPY) tertekan oleh pelemahan ekonomi di kawasan Eropa dan ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal di Jepang.

“Di sisi lain, rupiah (IDR) relatif stabil pekan ini, bergerak di kisaran Rp16.500-16.600 per dolar AS,” Ashmore menambahkan.

Sementara itu, kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas (meski baru pada fase awal) sempat menekan harga minyak karena harapan bahwa risiko geopolitik akan mereda.

Ashmore berpendapat, jika implementasinya berjalan lancar, investor global dapat mengharapkan penurunan bertahap harga logistik terkait komoditas energi, yang dapat menurunkan tekanan inflasi global dan mendorong sentimen  risk-on .

Namun, pasar belum melihat pergeseran signifikan karena risiko implementasi masih tinggi. Media global terus memantau perkembangan terutama terkait pertukaran sandera dan penarikan militer,” papar Ashmore.

Secara domestik, Ashmore menilai, belum terlihat adanya perubahan besar, namun pekan ini terjadi penurunan tajam imbal hasil obligasi pemerintah (IndoGB) tenor 10 tahun menjadi 6,11% (turun 20 bps dalam sepekan).

Dalam periode yang sama, IndoGB tenor 2 tahun turun lebih moderat ke 4,91% (turun 5 bps).

“Kami memperkirakan imbal hasil jangka pendek akan terus menurun sejalan dengan pemangkasan suku bunga BI (diperkirakan mencapai 4% pada 1Q26), sementara imbal hasil jangka panjang masih memiliki ruang lebih besar untuk turun karena penurunan  term premium ,” ungkap Ashmore.

Menurut Ashmore, hal ini akan didukung oleh kejelasan kebijakan domestik dan pelonggaran global lanjutan, di mana pasar memperkirakan Fed Funds Rate akan mencapai titik terendah pada 1Q27.

Ashmore menyarankan investor sebaiknya menambah durasi portofolio untuk mengoptimalkan imbal hasil, karena tren suku bunga masih menurun.

“Selain itu, siklus saat ini lebih menguntungkan untuk mengambil risiko durasi dibandingkan risiko kredit – sehingga instrumen seperti ADON , yang berinvestasi terutama pada obligasi pemerintah berdurasi panjang, bisa menjadi pilihan ideal.”

(Ashmore)

Check Also

BEI Buka Kembali Suspensi Tujuh Emiten, Hari Ini Investor Bisa Transaksi Kembali

MarketNews.id-Tujuh emiten yang beberapa hari lalu terkunci alias tidak dapat diperdagangkan, hari ini kembali dapat …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *