MarketNews.id-Hingga Akhir 2025, jumlah Surat Utang yang akan di terbitkan oleh korporasi akan melampaui jumlah Surat Utang yang di terbitkan Tahun 2024 lalu.
PT Peringkat Efek Indonesia (Pefindo), sebagai Pemeringkat Efek Indonesia dan menguasai lebih dari 80 persen jumlah perusahaan dirating lembaga ini, perkirakan jumlah Surat utang yang di terbitkan Tahun ini melebihi Tahun 2024 lalu.
Berdasarkan data Pefindo, total ada 53 perusahaan yang berencana menerbitkan surat utang korporasi pada semester II/2025. Dari jumlah ini, sektor perbankan menyumbang 5 perusahaan dengan perkiraan nilai mencapai Rp9,4 triliun.
Peringkat berikutnya ditempati oleh multifinance yang menyumbang delapan perusahaan dengan estimasi nilai sebesar Rp9,1 triliun. Adapun, tujuh perusahaan tambang berencana menerbitkan surat utang senilai Rp7,8 triliun.
“Mandat yang belum listing ini bisa menjadi gambaran prospek penerbitan di semester kedua. Nilainya mencapai Rp62 triliun,” ujar Kepala Ekonom Pefindo Suhindarto dalam konferensi pers, Selasa 15 Juli 2025.
Dia melanjutkan, mandat besar juga datang dari perusahaan induk senilai Rp6,8 triliun, sementara lembaga keuangan khusus mencapai Rp6,5 triliun. Sektor lainnya masing-masing mencatat mandat di bawah Rp5 triliun.
Dari sisi instrumen, mayoritas surat utang memiliki format Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) yang mencapai Rp41,29 triliun, sedangkan instrumen lain yang akan memasuki pasar meliputi sukuk dan medium term notes (MTN) sekitar Rp3 triliun, serta sekuritisasi mencapai Rp2,05 triliun.
Sementara itu, jika dilihat dari sisi institusi penerbit, tren penerbitan surat utang korporasi masih akan didominasi sektor swasta dengan rencana issuance sebesar Rp32,73 triliun. Adapun Grup BUMN mencapai Rp29,63 triliun.
“Dari 53 perusahaan, sebanyak 34 di antaranya berasal dari sektor swasta, sementara untuk BUMN dan anak perusahaannya ataupun BUMD ada sekitar 19 perusahaan dengan nilai sekitar Rp29,63 triliun,” ucap Suhindarto.
Pefindo memproyeksikan, pasar surat utang akan tetap aktif pada paruh kedua tahun ini, didorong oleh kebutuhan refinancing, ekspansi usaha, serta preferensi terhadap pendanaan jangka menengah.
Di samping itu, Suhindarto menyatakan perusahaan akan lebih cenderung mencari pendanaan di dalam negeri di tengah volatilitas nilai tukar dan suku bunga global khususnya Amerika Serikat yang masih berada di level tinggi.