MarketNews.i- Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The Prakarsa, mendorong pemerintah khususnya BPS mempertimbangkan integrasi indikator kemiskinan multidimensi ke dalam sistem statistik nasional.
Negara-negara seperti Meksiko, Kolombia, dan Bhutan telah mengadopsi pendekatan ini untuk merumuskan kebijakan publik yang lebih responsif.
Permintaan itu dipicu data kemiskinan Bank Dunia menggunakan indikator upper middle-income poverty rate, yang mengukur kemiskinan berdasarkan konsumsi rumah tangga sebesar USD6,85 atau setara Rp113.283,43 per hari dengan indeks Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP).
Hasilnya, 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin berdasarkan indikator ini, jauh berbeda dari data resmi BPS yang mencatat angka kemiskinan sekitar 9 persen.
Peneliti Ekonomi The Prakarsa, Bintang Aulia Lutfi menyatakan bahwa kemiskinan tidak boleh dipangkas hanya menjadi sekadar angka statistik.
“Kemiskinan tidak boleh direduksi hanya menjadi angka statistik, tetapi di balik setiap angka tersebut terdapat manusia yang menghadapi kerentanan kompleks dalam kehidupan sehari-harinya. Kemiskinan bukan sekadar soal uang, melainkan menyangkut berbagai dimensi kehidupan—pendidikan, kesehatan, akses terhadap layanan dasar, hingga partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik,” papar Bintang dalam keterangan resmi, Rabu 7 Mei 2025.
Dia bilang, Prakarsa telah melakukan pengukuran kemiskinan multidimensi (MIKM) di Indonesia dengan mengelaborasikan berbagai indikator non-moneter seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, kebutuhan dasar, dan perlindungan sosial & partisipasi.
“Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih adil dan komprehensif dalam mengukur kemiskinan. Pendekatan multidimensi akan memudahkan pemerintah mengambil intervensi dengan cepat,” ungkap Bintang.
Saat ini, penghitungan kemiskinan ditentukan berdasarkan pengeluaran rumah tangga untuk indikator makanan dan non-makanan (IKM).
IKM dikaji ulang terutama indikatornya dengan menambahkan indikator-indikator lain, termasuk morbiditas, nutrisi balita, partisipasi sekolah, kebutuhan dasar rumah tangga, dan lainnya.
Peneliti kebijakan sosial The Prakarsa, Pierre Bernando Ballo menambahkan bahwa banyak orang yang secara ekonomi tidak miskin sebenarnya hidup dalam kondisi terbatas.
Mereka bisa saja tinggal di rumah tidak layak, tidak memiliki akses air bersih, atau anak-anak mereka tidak bersekolah. Pendekatan kemiskinan multidimensi memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai kondisi tersebut.
Laporan Global Multidimensional Poverty Index 2023 dari UNDP dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) menunjukkan bahwa 25 negara berhasil menurunkan kemiskinan multidimensi dalam 15 tahun dengan kebijakan yang tidak hanya fokus pada ekonomi, tetapi juga pada kebutuhan dasar lainnya.
“Pengukuran kemiskinan multidimensional tidak hanya menjadi data statistik, tetapi juga mendukung perencanaan intervensi dan evaluasi kesejahteraan, terutama Kementerian PPN/Bappenas,” imbuh Pierre.
Abdul Segara