MarketNews.id – Garuda Indonesia (GIAA), membukukan pertumbuhan pendapatan usaha sekitar 16,3 persen secara tahunan menjadi USD3,416 miliar pada tahun 2024.
Bila dirinci, pendapatan dari penerbangan berjadwal meningkat 15,3 persen secara tahunan menjadi USD2,742 miliar. Senada, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal tumbuh 15,6 persen secara tahunan menjadi USD333,75 juta. Demikian juga dengan pendapatan lainnya yang tumbuh 25,9 persen secara tahunan menjadi USD340,36 juta.
Namun beban usaha bengkak 18,3 persen secara tahunan menjadi USD3,107 miliar. Ditambah beban lainnya USD390,07 juta atau melonjak 420 persen secara tahunan.
Dampaknya, emiten penerbangan BUMN ini mengalami rugi sebelum pajak sedalam USD81,463 juta. Sedangkan rugi bersih sedalam USD72,7 juta.
Akibatnya, defisit kian menukik sedalam 2,1 persen secara tahunan menyentuh USD3,505 miliar. pada gilirannya, GIAA mengalami tekor modal USD1,351 miliar.
Pada sisi lain, GIAA Grup masih mempunyai jumlah liabilitas jangka pendek melebihi aset lancarnya sebesar USD619 juta. Pasalnya, jumlah kewajiban jangka pendek mencapai USD1,173 miliar. Pada saat yang sama, total aset lancar hanya USD553,9 juta.
Direktur Utama GIAA, Wamildan Tsani mengungkapkan bahwa hal-hal tersebut mengindikasikan adanya unsur ketidakpastian yang material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.
Namun Wamildan menegaskan, telah menyusun rencana untuk keluar dari kemelut tersebut. Mulai dari rencana operasional dengan fokus pada rute domestik hingga optimalisasi armada.
Pada sisi keuangaan, GIAA berencana menambah modal, penambahan dana dari mitra strategis, dan penarikan lebih awal atas utang obligasi dan sukuk.
Tapi upaya tersebut masih menghadapi risiko seperti volatilitas harga avtur, nilai tukar rupiah, kebijakan tentang tariff batas atas serta keterbatasan armada.
“Kelangsungan usaha Grup dapat terdampak oleh ketidakpastian yang timbul dari risiko-risiko tersebut,” tulis Wamildan Tsani.
Abdul Segara