Marketnews.id Keputusan Pemerintah melarang produsen minyak sawit untuk melakukan ekspor diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Bahkan lembaga rating Fitch memprediksi tidak akan lebih dari satu bulan. Alasannya, dampak dari larangan ekspor akan berpengaruh pada produsen minyak sawit dan terimbas langsung kepada petani sawit dan tenaga kerja di pabrik. Benarkah Pemerintah akan mencabut larangan ekspor terus tersebut.
Fitch Ratings Singapore Pte Ltd memperkirakan, kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng di Indonesia hanya berlaku sesaat atau kurang dari satu bulan, karena kebijakan ini akan berdampak pada penurunan profitabilitas produsen dan mata pencarian pekerja domestik.
Perkiraan itu disampaikan oleh Direktur Fitch Ratings Singapore, Akash Gupta dalam siaran pers yang dikirim melalui surat elektronik, Rabu 4 Mei 2022. Dia menyebutkan, larangan ekspor tersebut akan menekan harga di dalam negeri, karena adanya kelebihan pasokan, serta mendorong kenaikan harga di pasar Malaysia.
“Namun, larangan ekspor tersebut kemungkinan akan berumur pendek, karena dampaknya terhadap profitabilitas produsen Indonesia dan mata pencaharian jutaan pekerja. Emiten di Indonesia memiliki ruang untuk menyerap dampak larangan sementara, tetapi risiko kredit akan meningkat jika pembatasan diperpanjang hingga beberapa bulan,” papar Akash.
Dia menegaskan, larangan ekspor CPO Indonesia akan memperlebar selisih harga antara Malaysia dan Indonesia. Patokan spot Malaysia melonjak menjadi lebih dari USD1.900 per ton pada awal Maret 2022 dan rata-rata sekitar USD1.600/ton (rata-rata di 2021 senilai USD1.068/ton).
Akash menyebutkan, pertumbuhan permintaan minyak goreng domestik akan kurang dari 1 juta ton pada 2022. “Kami pikir larangan ekspor tidak mungkin lebih dari satu bulan. Harga CPO kemungkinan akan turun tajam, karena pasar domestik tidak akan mampu menyerap peningkatan pasokan, membebani infrastruktur penyimpanan negara,” ujarnya.
Mengutip pernyataan petinggi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Akash menyatakan bahwa tangki CPO di Indonesia akan penuh dalam waktu satu bulan dan memaksa pabrik minyak sawit untuk memangkas produksi.
“Ini akan merugikan petani kecil yang berjumlah sekitar 3 juta orang pada akhir 2021, selain itu produsen besar yang mempekerjakan 4,5 juta pekerja. Kami kira pemerintah akan berusaha menyeimbangkan kebutuhan untuk memotong harga minyak goreng dengan kepentingan petani kecil dan pekerja perkebunan,” tutur Akash.
Dia menyatakan, sejumlah perusahaan masih memiliki ruang untuk menyerap dampak larangan ekspor CPO terhadap peringkat perusahaan, apabila larangan tersebut berlangsung selama satu atau dua bulan. Perusahaan itu adalah, PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA), PT Ivo Mas Tunggal dan PT Sawit Mas Sejahtera.
“Namun, kami melihat beberapa risiko pada profil peringkat mereka jika larangan tersebut diperpanjang. Di sisi lain, produsen yang berpusat di Malaysia seperti Sime Darby Plantation Berhad (BBB/Stabil) akan diuntungkan dari harga minyak sawit yang lebih tinggi,” katanya.