Marketnews.id Rencana PT Pertamina Persero untuk menjadikan anak usahanya Go Public ternyata banyak ditentang oleh kalangan internal Pertamina termasuk dari kalangan praktisi Migas. Anak usaha yang akan IPO itu adalah PT Petrokimia Geotermal Energy, PT Pertamina Hulu dan PT Pertamina Internasional Shipping.
Keberatan atas rencana IPO anak usaha PT Pertamina ini muncul mulai dari salah satu serikat pekerja di PT Pertamina, hingga praktisi migas yang mengkhawatirkan dengan IPO tiga anak usahanya, maka otomatis negara akan kehilangan kedaulatan nya dalam mengontrol energi nasional.
Padahal semua sudah mahfum, dunia usaha moderen saat ini berharap dapat menjadi perusahaan publik. Menjadi perusahaan publik, merupakan salah satu tuntutan agar perusahaan dapat dikelola secara profesional dan menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik.
Jadi aneh bila ada pendapat dengan menjadi perusahaan publik, maka pemerintah sebagai pemilik mayoritas akan kehilangan kendali terhadap kontrol energi nasional.
Sudah belasan BUMN go public dan pemerintah tetap pegang kendali atas BUMN tersebut. Padahal menjadi perusahaan publik, akan menuntut perusahaan dikelola secara transparan dan terbuka dan dapat dikontrol tata kelolanya. Sehingga perusahaan dapat berjalan lebih baik dibanding sebelumnya jadi perusahaan publik.
Rencana pemerintah mendorong IPO PT Pertamina dan anak usahanya ditolak keras. Dengan mengizinkan holding – subholding anak usaha Pertamina itu dinilai sama saja menggadaikan nasib rakyat yang menggantungkan kebutuhan dasar energinya kepada pemilik modal. Akibatnya kedaulatan energi nasional terancam hilang.
Seperti diketahui tiga dari lima anak usaha Pertamina yang akan IPO (initial public offering) merupakan perusahaan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ketiga perusahaan itu yakni PT Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Hulu Energi, dan PT Pertamina International Shipping. Jika rencana IPO terhadap tiga anak usaha tersebut dilanjutkan maka otomatis negara kehilangan kedaulatannya dalam mengontrol energi nasional.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar, mengatakan ada tujuh kekhawatiran yang akan ditimbulkan jika holding-subholding ini direalisasikan dengan dilakukannya IPO anak usaha Pertamina. Pertama, kata Arie, jelas wacana itu melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d).
Kedua, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha. Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat.
“Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal,” kata Arie dalam sebuah webinar terkait rencana IPO anak usaha Pertamina, Sabtu (31/7).
Keempat, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing. Kelima, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO (public service obligation). Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
“Keenam, hilangnya previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO. Maka rencana ini harus ditolak karena tidak sesuai dengan UU,” ucap dia.
Ketujuh, masih Arie, rencana pemerintah ini akan sangat mengancam Ketahanan energi nasional dan program pemerataan pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan. Padahal penugasan BBM 1 harga menjadi sangat krusial bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman atau terpencil yang seharusnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan harga BBM yang murah.
“Jangan sampai karena keserakahan segelintir orang yang memimpin negeri ini, menjadikannya lupa dan mengkhianati akan cita-cita para founding fathers yang telah mencetuskan konsep Pasal 33 UUD 1945,” pungkas dia.
Sementara itu Praktisi Migas, Kurtubi, menjelaskan bahwa rencana IPO anak usaha Pertamina adalah bentuk upaya beberapa pihak yang ingin mempreteli BUMN Migas. Menurutnya banyak pihak yang ingin mencari celah agar Pertamina secara bisnis tak lagi bisa memiliki kuasa penuh dari hulu ke hilir. Hal ini terjadi karena pemerintah Indonesia sendiri tidak komitmen untuk memperbesar bisnis Pertamina.
“UU BUMN melarang privatisasi BUMN Persero tapi boleh anak-anak usahanya, ini diakali terus rakyat Indonesia. Malu saya sebagai bangsa kok kita menipu diri sendiri,” ucap Kurtubi.
Mantan Anggota DPR Komisi VI ini juga menyoroti sikap pemerintah yang mencla mencle dalam mengupayakan Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia. Pemerintah justru mulai berbisnis melalui BPH Migas.
Padahal seharusnya urusan migas dari hulu ke hilir diserahkan kepada Pertamina. Hal inilah yang membuat ekosistem industri hulu migas nasional hancur berantakan. Produksi minyak menjadi anjlok drastis dari sebelumnya 1,5 juta barel per hari kini menjadi di bawah 700 ribu barel per hari.
“Jadi nggak boleh pemerintah ikut campur dalam berkontrak bisnis migas melalu BPH Migas, maka ini kedaulatan negara jadi tergadiakan. Sistem yang jelek ini terus dipakai,” pungkas dia.