Marketnews.id Guna menekan laju impor bahan baku yang terus meningkat, Pemerintah akan melakukan perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input industri turunan. Selanjutnya, investasi yang baru masuk diarahkan pada industri yang dapat memproduksi bahan baku dengan peningkatan utilisasi industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor.
Demi memperbaiki kualitas neraca perdagangan nasional, pemerintah menargetkan dapat mensubstitusi impor sebesar 35 persen di tahun depan. Nantinya substitusi impor difokuskan pada bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil ( IKFT ) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Muhammad Khayam, menjelaskan pemerintah juga akan mengupayakan penurunan impor barang jadi dari produk hilir dan menggenjot produksi dalam negeri.
Dengan program substitusi impor ini diharapkan tidak hanya memacu peningkatan konsumsi bahan baku dan bahan penolong lokal, namun juga bisa mengisi kekosongan pada struktur industri yang selama ini diisi dengan cara impor.
“Yang perlu mendapatkan perhatian adalah penurunan impor bahan baku dan bahan penolong ini seharusnya tidak menghambat produksi, terutama bagi produk hulu atau setengah jadi yang menjadi input oleh industri turunan atau hilir,” kata Khayam dalam keterangannya, Kamis (6/5).
Untuk mencapai target ini, strategi yang dilakukan pemerintah yaitu dengan melakukan perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input industri turunan. Kemudian investasi baru yang masuk diarahkan pada industri yang dapat memproduksi bahan baku.
Lalu, kata Khayam, yaitu dengan peningkatan utilisasi industri. Pendekatan ini merupakan salah satu outcome yang diharapkan dapat meningkatkan utilisasi industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor.
“Kebijakan substitusi impor tidak bisa dicapai hanya dengan mengurangi impor saja, sehingga ketiga pendekatan tersebut menjadi penting dan prioritas dalam mencapai target substitusi impor sebesar 35 persen di tahun 2022,” jelas Khayam.
Menurutnya, sektor IKFT mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut. Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja gemilang industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia yang pertumbuhannya pada tahun 2020 naik sebesar 9,39 persen (yoy).
“Sementara itu, kontribusi sektor industri kimia, farmasi dan tekstil sebesar 4,48 persen, dengan kontribusi terbesar adalah di industri kimia, farmasi dan obat sebesar 1,92 persen,” ungkapnya.
Sepanjang tahun 2020, perkembangan ekspor di sektor IKFT sebesar USD33,99 miliar, dengan surplus USD89 juta. Untuk realisasi investasi, tahun lalu sektor IKFT menembus Rp61,97 triliun, yang didominasi oleh industri kimia dan bahan kimia.
“Sedangkan tenaga kerja yang bisa diserap sebesar 6,24 juta orang, di mana penyerapan terbesar di industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 3,43 juta orang,” pungkasnya.