Marketnews.id Setidaknya ada tiga perusahaan Unicorn yang sudah mempersiapkan diri untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dipelopori oleh PT Bukalapak.com (BUKA) masih ada tiga atau empat Unicorn lain yang akan masuk pasar modal Indonesia bila situasi pasar memungkinkan baik dari sisi waktu maupun dari sisi perekonomian yang mendukung sukses atau tidaknya penawaran umum. Masuknya perusahaan Unicorn ini memang ditunggu banyak pihak untuk membuat pasar modal Indonesia semakin menarik di mata investor.
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan, pasar modal memiliki potensi mengalami peningkatan nilai kapitalisasi pasar (market cap) sebesar 7,69 persen atau sebesar Rp533,9 triliun, jika sebanyak enam unicorn melakukan penawaran umum perdana saham (IPO).
Menurut Direktur BEI, I Gede Nyoman Yetna Setia dalam acara “Edukasi Wartawan: IPO Unicorn” di Jakarta, Rabu (28/7), saat ini terdapat empat centaur di Indonesia yang akan bertumbuh menjadi unicorn dan diharapkan bisa melakukan IPO di pasar modal domestik.
“Pada tahun ini saja ada tiga unicorn yang akan IPO. Bisa jadi yang dua perusahaan akan bergabung atau sendiri-sendiri melakukan IPO. Tetapi, semua sudah mengetahui ada dua unicorn yang bergabung menjadi satu perusahaan,” ujar Nyoman.
Dia menyebutkan, sejauh ini PT Bukalapak.com ( BUKA ) sudah melakukan penawaran umum perdana saham dan BEI berharap GoTo yang merupakan penggabungan dari PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dan PT Tokopedia bisa segera menyampaikan proposal IPO ke Bursa.
“Jadi, secara institusi ada tiga unicorn yang akan IPO di tahun ini. Kalau yang satu lagi masuk untuk melakukan IPO seperti Bukalapak, pasti market cap-nya akan melebihi Bukalapak, karena mereka sudah bergabung,” ujar Nyoman.
Asumsi BEI terkait peningkatan market cap sebesar 7,69 persen tersebut, menurut Nyoman, mengacu pada nilai valuasi terkini dan data market cap per 16 Juli 2021. Bursa meyakini bahwa sebanyak 27 centaur yang ada di Indonesia juga berpotensi melakukan IPO dengan nilai fundraised dan kapitalisasi pasar yang besar.
Sebagaimana diketahui, centaur adalah istilah bagi start-up yang memperokeh nilai valuasi sekitar USD100 juta-USD1 miliar. Sedangkan, unicorn merupakan start-up yang mampu memperoleh nilai valuasi sekitar USD1 miliar-USD10 miliar, seperti Bukalapak. Sementara itu, GoTo masuk ke dalam kategori decacorn, karena mampu memperoleh nilai valuasi sekitar USD10 miliar-USD100 miliar.
Namun demikian, menurut Kepala Divisi Layanan dan Pengembangan Perusahaan Tercatat BEI, Saptono Adi Junarso, rencana IPO GoTO masih terganjal oleh keinginan Unicorn yang meminta sahamnya dicatat di Papan Utama.
Guna dapat merespons hal tersebut, menurut Saptono, BEI harus terlebih dahulu mengubah Peraturan Bursa No I-A, terutama untuk kriteria laba dan/atau net tangible asset (NTA) di Papan Utama. “Kami telah melakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pencatatan I-A,” ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, Bursa juga sudah menyampaikan permohonan perubahan Peraturan Bursa Nomor I-A kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 Maret 2021. “Sekarang sedang pembahasan di OJK, semoga bisa secepatnya disetujui, karena masuk pembahasan menuju final,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Unit Pengembangan Start-up dan SME BEI, Aditya Nugraha mengatakan, bahwa unicorn yang akan melantai di BEI juga meminta pengklasifikasian sektor dan subsektor, karena sejauh ini pengklasifikasian di BEI masih terbatas, khususnya untuk perusahaan-perusahaan berbasis teknologi.
Terkait Rancangan POJK (RPOJK) mengenai Saham Hak Suara Multiple ( SHSM ) atau Multiple Voting Shares (MVS), BEI menilai bahwa persyaratan memiliki SHSM harus perusahaan yang akan melakukan IPO dan pertumbuhan bisnis maupun usahanya sangat bergantung pada kontribusi signifikan dari pemegang SHSM.
Selain itu, perusahaan harus memenuhi empat syarat finansial, yakni total aset lebih dari Rp2 triliun, beroperasi lebih dari tiga tahun, CAGR total aset dalam tiga tahun terakhir minimal 35 persen dan CAGR pendapatan dalam tiga tahun terakhir minimal 30 persen. Pada RPOJK SHSM juga menyebutkan bahwa SHSM akan memperoleh lock-up dua tahun sejak IPO.
Sementara itu, masih banyak manfaat lain bila perusahaan telah go publik. Dari sisi pajak misalnya, bila perusahaan umum akan kena pajak sebesar 22 persen. Sedangkan bila perusahaa tercatat pajaknya lebih kecil sebesar 19 persen.
Buat pemilik perusahaan, ada keuntungan lainnya bila pemilik menjual sahamnya, maka pajak yang dikenakan hanya 0,6 persen. Sementara bila perusahaan non publik, pajaknya akan mencapai 22 persen. ” Jadi banyak manfaat buat perusahaan bila jadi perusahaan tercatat dari sektor pajak” ujar Nyoman.
Sebenarnya masih banyak manfaat lain kalau perusahaan berstatus perusahaan publik. Tapi, mengapa masih aja ada perusahaan yang meminta keringanan persyaratan agar bisa jadi perusahaan publik.