Marketnews.id Penurunan defisit transaksi berjalan dipengaruhi oleh peningkatan surplus neraca perdagangan barang, disertai dengan penurunan defisit neraca jasa dan neraca pendapat primer. Sedangkan inflasi rendah saat ini disebabkan adanya pendemi Covid-19 hingga muncul kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga permintaan masyarakat anjlok. Selain itu melemahnya permintaan masyarakat karena adanya larangan mudik.
Bank Indonesia (BI) meyakini, defisit transaksi berjalan (current account deficit / CAD) tahun ini akan tetap rendah di bawah 2 persen dari product domestic bruto (PDB).
Berdasarkan data triwulan I 2020, angka CAD sebesar USD3,9 miliar atau 1,4 persen dari PDB. Hal ini jauh lebih rendah dari defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai USD8,1 miliar atau setara 2,8 persen dari PDB.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan penurunan defisit transaksi berjalan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan surplus neraca perdagangan barang, disertai dengan penurunan defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer.
Perbaikan surplus neraca perdagangan barang disebabkan oleh penurunan impor seiring dengan permintaan domestik yang melambat, sehingga mengurangi dampak penurunan ekspor akibat kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia.
“Ini mengkonfirmasi bahwa CAD kita lebih rendah dari 1,5 persen (dari PDB), perkiraaan kami tahun ini akan tetep terkendali di bawah 2 persen dari PDB, beberapa faktor yang mendukung terjadinya CAD adalah ekspor sedikit mengalami peningkatan tapi faktor lain penurunan impor yang memang lebih besar di triwulan I 2020,” ujar Perry dalam teleconference, Kamis (28/5).
Dijelaskannya juga bahwa, defisit neraca jasa juga membaik dipengaruhi oleh penurunan defisit jasa transportasi sejalan dengan penurunan impor barang, di tengah penurunan surplus jasa travel akibat berkurangnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Di samping itu, perbaikan defisit neraca pendapatan primer sejalan dengan aktivitas ekonomi domestik, turut mendorong penurunan defisit transaksi berjalan.
Sementara itu BI memperkirakan tingkat inflasi pada Mei 2020 akan sangat rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau 2019.
Berdasarkan survei BI melalui 46 kantor cabangnya, hingga pekan keempat Mei 2020 terjadi inflasi sebesar 0,09 persen month-to-month dan 2,21 persen year-on-year .
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan proyeksi inflasi itu di luar data historis yang selama ini terjadi. Pasalnya, pada tahun-tahun sebelumnya setiap periode Ramadhan dan Idul Fitri selalu terjadi inflasi cukup tinggi, terutama dari kelompok pengeluaran bahan makanan, sektor transportasi dan sandang.
Namun untuk tahun ini, kata Perry, akibat adanya pandemi virus korona sehingga muncul kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, maka permintaan masyarakat anjlok. Melemahnya konsumsi masyarakat juga dipicu larangan mudik yang ditetapkan pemerintah.
“Ini berarti memang inflasi di bulan Ramadhan 2020 sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun lalu, di bulan Ramadhan, inflasi sebelum Idul Fitri 0,68 persen, dan setelah Ramadhan 0,55 persen. Tahun 2018 (saat Ramadhan) inflasi 0,59 persen dan di 2017 inflasi sebesar 0,69 persen,” kata Perry.
Kebijakan pembatasan sosial ini mendorong penurunan aktivitas ekonomi sehingga pendapatan masyarakat juga anjlok. Efeknya, konsumsi masyarakat juga tergerus sehingga diperkirakan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Perry menyakini tahun ini target inflasi maksimal sebesar 3 persen plus-minus 1 persen dapat dicapai. Hal itu didasarkan pada catatan inflasi yang cenderung melandai sejak awal 2020. Rendahnya asumsi inflasi pada tahun ini juga didasarkan pada melemahnya harga komoditas di pasar global dan terjaganya nilai tukar rupiah.
“Ini menunjukkan koordinasi kita berjalan sangat baik, sehingga harga barang terkendali, pasokan barang terjaga. Nah ini meyakinkan kita bahwa inflasi 2020 tetap terjaga di kisaran target,” kata Perry.