MarketNews.id Dinamika perekonomian global yang terus bergerak liar baik dari sisi geopolitik, pelemahan ekonomi China hingga gejolak ekonomi di AS dan Eropa serta konflik Rusia-Ukrania dan Israel Palestina jadi salah satu penyebab berkurangnya pendapatan negara hingga terjadi defisit.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) Indonesia mengalami defisit Rp0,7 triliun rupiah untuk periode Januari-Oktober.
Defisit tersebut setara dengan 0,003 persen dari produk domestik bruto, karena pengeluaran sudah melebihi pendapatan.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengungkapkan, total pendapatan pada periode tersebut mencapai Rp2.240,1 triliun, naik 2,8 persen secara tahunan. Namun total pengeluaran mencapai Rp2.240,8 triliun, turun 4,7 persen sepanjang Januari-Oktober, sebut Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat 24 Nopember 2023.
“Hampir sama angkanya secara nominal antara pendapatan dan belanja negara, namun belanja negara ini baru 73,2 persen dari total pagu anggaran yang ada dalam UU APBN . Ini artinya belanja negara dari tahun lalu turun 4,7 persen ” jelas Sri Mulyani.
Dalam paparannya, target pendapatan APBN antara Januari dan Oktober 2023 sudah mencapai 90,9 persen dari target APBN selama setahun penuh.
Sementara itu, pengeluaran pada periode yang sama baru mencapai 73,2 persen dari total alokasi pada tahun 2023.
Hingga akhir September lalu, APBN masih menunjukkan surplus senilai Rp67,7 triliun. Meski APBN 2023 di Januari-Oktober mulai defisit, Sri Mulyani menyebut dari sisi keseimbangan primer masih mencatatkan surplus Rp365,4 triliun.
“Hingga Oktober 2023 kinerja APBN on track . Sejalan dengan belanja yang semakin besar, APBN mulai mencatatkan defisit” ujar Sri Mulyani.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengungkapkan adanya peluang defisit APBN lebih rendah dari outlook pemerintah, yakni sebesar 2,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Febri menjelaskan, pada dasarnya memang dinamika perekonomian global masih terus bergerak sangat dinamis baik geopolitik, pelemahan ekonomi China, gejolak ekonomi di AS dan Eropa, serta perang yang tengah terjadi di Israel maupun Rusia.
Ketidakpastian ini terlihat dari harga komoditas dan suku bunga kebijakan yang mempengaruhi kondisi makro secara global maupun domestik.
Dari sisi penerimaan, lanjut Febrio, beberapa faktor tersebut berdampak bagi penerimaan negara khususnya terkait ekspor impor, di mana kepabeanan dan cukai anjlok 13,6 persen. Hal tersebut akibat bea keluar (BK) turun hingga 74,4 persen per Oktober 2023.
Utamanya untuk BK produk sawit, tembaga, dan bauksit yang masing-masing turun 81,9 persen (year-on-year/yoy), 31 persen, dan 88,3 persen.
Di samping itu, Febrio mengungkapkan bahwa penyaluran belanja tetap kuat dan menopang pemulihan ekonomi dan mendukung konsumsi masyarakat, baik secara natural terjadi dari pertumbuhan ekonominya maupun juga pemerintah.
Pasalnya, tercatat adanya kebutuhan untuk adanya penebalan bantuan sosial (bansos) dalam konteks El Niño dan harga komoditas. Di mana Kementerian Keuangan melanjutkan menambah anggaran untuk bansos pangan, BLT, maupun insentif sektor perumahan.
“Ini menjadi modal bagi APBN kita untuk tetap berfungsi sebagai shock absorber maupun penopang pertumbuhan ekonomi dan konsumsi masyarakat,” pungkasnya.