MarketNews.id Risiko stagflasi diperkirakan bervariasi antar negara di dunia, sehingga risiko tersebut perlu dicermati lebih lanjut, mengingat kebijakan moneter beberapa negara besar yang lebih agresif justru berpotensi meningkatkan ketidakstabilan ekonomi global. Bila bank sentral tidak menangani dengan serius krisis ini, akan berkepanjangan dan menular pada negara lain. Jadi harus ada kerjasama antara negara hadapi ancaman stagflasi ini.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin Juhro mengingatkan terdapat risiko stagflasi yang akan melawan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
“Ini adalah hal yang penting. Ini adalah yang bank sentral dan semua otoritas berusaha perjuangkan,” kata Solikin dalam Kegiatan Sampingan G20 Indonesia 2022 bertajuk “Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery” di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu 13 Juli 2022.
Risiko stagflasi diperkirakan bervariasi antar-negara di dunia, sehingga risiko tersebut perlu dicermati lebih lanjut, mengingat kebijakan moneter beberapa negara besar yang lebih agresif yang berpotensi meningkatkan ketidakstabilan ekonomi global.
Maka dari itu Solikin melihat ada krisis yang berkepanjangan dan menular, sehingga jika sebuah negara tidak bisa bersungguh-sungguh menangani hal tersebut dengan benar akan ada risiko yang akan terjadi untuk krisis berikutnya.
Seperti diketahui, usai beberapa negara mengangkat tangan dari pandemi COVID-19 yang sudah melandai, muncul berbagai konflik baru seperti geopolitik hingga proteksionisme. Namun, berbagai konflik tersebut tidak bisa diatasi sebuah negara sendirian.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus memiliki sinergi kebijakan yang lebih kuat, tidak hanya secara nasional, tetapi juga di tingkat internasional,” ucap dia.
Oleh karena peliknya berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, ia menegaskan bank sentral tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan suku bunga acuan. Instrumen lain pun turut dikerahkan sebagai bauran kebijakan BI.
Untuk kebijakan moneter akan diarahkan kepada stabilitas ekonomi pada tahun 2022, sedangkan sisanya seperti kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, dan lainnya akan tetap berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi, jelas Solikin.