Marketnews.id PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) telah mendapat izin prinsip dari Bank Indonesia (BI) untuk mengimplementasikan CCP-SBNT dan berharap izin usaha akan keluar bulan Maret ini. Seperti diketahui, sesuai ketentuan maksimal 60 hari kerja CCP-SBNT harus sudah operasional. Bila proses yang sedang berlangsung di BI berjalan sesuai rencana, maka KPEI pada Juni 2022 sudah dapat terintegrasi dalam pengawasan di pasar keuangan bersama BI dan OJK.
Dalam upaya mengintegrasikan pengawasan di pasar keuangan bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia ( KPEI ) berharap Central Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar (CCP- SBNT ) bisa beroperasi di akhir Juni atau paling lambat awal Juli 2022.
Menurut Direktur KPEI , Iding Pardi, pada 13 Agustus 2020 pihaknya telah mendapatkan izin prinsip dari BI untuk mengimplementasikan CCP- SBNT , yang selanjutnya KPEI mengajukan izin usaha pada Desember 2021 dan saat ini sedang berada dalam tahap proses selama maksimal 90 hari kerja.
“Harapannya izin usaha ini bisa kami peroleh di akhir Maret 2022, sehingga nantinya sesuai dengan ketentuan, maksimal 60 hari kerja CCP- SBNT harus sudah live atau harus sudah operasional. Sekarang kita ada di tahapan menunggu izin usaha dari BI,” kata Iding dalam acara Sosialisasi CCP- SBNT di Jakarta, Jumat 25 Maret 2022.
Sambil menunggu izin usaha keluar, ujar Iding, KPEI sedang menyiapkan sistem, peraturan dan bank sebagai pelaku CCP- SBNT . Menurut dia, saat ini sudah ada lima lembaga perbankan yang berkomitmen untuk menjadi anggota kliring.
“Bagi bank, CCP- SBNT ini juga sebagai suatu hal yang baru, sehingga memerlukan persiapan yang tidak sedikit. Kami dari KPEI terus berkomunikasi secara intensif dengan BI maupun OJK sebagai pengawas perbankan, serta dengan perbankan sebagai pelakunya,” papar Iding.
Iding optimistis, sebanyak lima lembaga perbankan yang telah berkomitmen sebagai anggota kliring tersebut bisa bergabung dalam penerapan CCP- SBNT yang akan beroperasi paling telat awal Juli 2022.
Untuk produknya, lanjut Iding, terdapat dua underlying, yakni interest rate dan foreign exchange. Pada interest rate ini ada produk interest rate swap (IRS) dan overnight index swap (OIS). Sedangkan, pada forex terdapat domestic non-deliverable forward (D-NDF), FX Forward dan FX Swap.
Sesuai dengan arahan BI, pada tahun ini implementasinya akan difokuskan pada D-NDF. Sehingga, nantinya transaksi forward dalam bentuk rupiah dan dolar AS akan diselesaikan dalam denominasi rupiah.
Iding berharap, OJK bisa mengeluarkan peraturan yang memberikan mandat kepada lembaga perbankan untuk menjadi anggota kliring di tengah kegiatan KPEI , BI dan OJK yang terus melakukan pendekatan terhadap sejumlah bank. “Saat ini ketentuan terkait mandatori kliringnya belum ada,” tegas Iding.
Rencana implementasi CCP- SBNT , lanjut dia, didasari kondisi saat terjadi krisis keuangan global pada 2008, sehingga perlu adanya penguatan regulasi dan pengawasan terhadap produk OTC derivatif.
Bahkan, pada agenda OTC Derivatives Market Reform dalam G20 Summit 2009, para pemimpin negara G20, —termasuk Indonesia— bersepakat bahwa semua kontrak derivatif yang terstandar supaya ditransaksikan di bursa atau melalui electronic trading platform (ETP).
Selain itu, dikliringkan melalui central counterparty (CCP), dilaporkan melalui trade repository dan kontrak yang tidak dikliring (non-centrally cleared contract) harus dikenakan persyaratan modal yang lebih tinggi.
lebih jauh Iding menambahkan, rencana pendirian CCP- SBNT juga sejalan dengan rencana BI, OJK dan Kementerian Keuangan yang tertuang di dalam “Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan 2018-2024” serta “Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025”.
Iding menegaskan, keberadaan CCP di pasar keuangan merupakan mandat dari rekomendasi G-20 di 2009 dan eksistensinya juga akan memberikan sejumlah manfaat bagi para pelaku transaksi transaksi derivatif SBNT OTC, seperti kliring menggunakan Qualified CCP memberikan bobot risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kliring menggunakan non-qualified CCP dan standarisasi maupun peningkatan peran manajemen risiko.
Manfaat lainnya, ucap Iding, terciptanya transparansi dan monitoring atas transaksi OTC derivatif, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap pasar keuangan secara umum.
“Selain itu, Efisiensi Netting, yakni CCP dapat memberikan manfaat efisiensi operasional melalui fungsi multilateral netting,” pungkas Iding.