Marketnews.id Awal Agustus mendatang, PT Pertamina (Persero) akan serah terima proses alih kelola blok Rokan dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Sebelumnya serah terima terlaksana, seluruh perseroan serius yang masih belum diselesaikan oleh PT CPI harus sudah tuntas sebelum diserahkan ke Pertamina. Seperti diketahui masih ada beberapa perseloalan serius yang mesti diselesaikan terlebih dahulu oleh PT CPI sebelum diserahkan ke Pertamina. Berdasarkan catatan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ada persoalan limbah B3, tanah terkontaminasi minyak dan persoalan lingkungan lainnya.
Proses alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina (Persero) pada 9 Agustus 2021 mendatang dinilai masih dipenuhi berbagai persoalan serius. Apabila permasalahan yang timbul selama dikelola oleh CPI tidak segera dirampungkan, dikhawatirkan kedepan Pertamina yang akan menanggung beban tersebut.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar, mendesak agar manajemen CPI menuntaskan kewajibannya terlebih dahulu sebelum meninggalkan Indonesia. Persoalan pertama terkait dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) serta tanah terkontaminasi minyak (TTM) yang muncul selama proses produksi oleh CPI.
FSPPB mendesak CPI bertanggung jawab atas timbulnya persoalan lingkungan tersebut. Harus ada upaya recovery atau pemulihan agar masyarakat yang tinggal di area produksi blok Rokan terjamin keamanan dan keselamatan. Apabila persoalan ini tak dirampungkan maka kedepan akan menjadi beban bagi Pertamina.
“Selama kegiatan produksi di Blok Rokan menyisakan persoalan lingkungan yang kalau dikonversi ke rupiah itu nilainya lebih dari USD1,7 miliar. Itu kalau tidak dselesaikan sebelum alih kelola akan jadi beban buat Pertamina dan negara. Juga bahaya bagi masyarakat Riau dan daerah yang terdampak,” ujar Arie dalam webinar bertama Tuntaskan Masalah Blok Rokan, Sebelum Diserahkan Ke Pertamina, Sabtu (12/6).
Persoalan lain yang muncul adalah tak ada izin bagi Pertamina untuk open akses data-data produksi, SDM dan hal-hal terkait dengan proses produksi oleh CPI. Padahal untuk blok terminasi diharuskan ada keterbukaan data demi menjaga produksi minyak dan gas tetap optimal.
Akibat dari “pelitnya” CPI membuka akses data-data tersebut Pertamina mengalami kesulitan dalam investasi. Hal itu terbukti dari penurunan jumlah produksi yang terus susut sejak penetapan berakhirnya kontrak pengelolaan CPI pada blok Rokan.
“Pasca ditetapkannya pengelolaan oleh Pertamina produksi blok Rokan terus menurun. Proses transisi alih kelola tidak jalan mulus. CPI tidak mau investasi yang mengakibatkan produksi terus turun dari sebelumnya sekitar 200 ribu barel oil per hari (bph) kemudian susut menjadi 190 ribu bph, 170 ribu bph. Bahkan di awal tahun 2021 hanya 165 ribu bph,” sambungnya.
Persoalan lain adalah tersanderanya pasokan listrik dan uap blok Rokan oleh anak usaha CPI yaitu Chevron Standard Ltd (CSL) lantaran mereka tidak mau menyerahkan pembangkitnya ke Pertamina. Akibatnya pasokan listrik dan uap terganggu. Dia meminta agar CPI memenuhi ketentuan yang berlaku terkait dengan penyerahan pengelolaan blok yang sudah berakhir kontraknya.
“FSPPB konsisten berjuang menegakkan kedaulatan energi nasional dengan merebut blok blok yang masuk terminasi yang dikauasai asing agar dikelola oleh negara melalui Pertamina,” pungkas dia.