Marketnews.id Program pemerintah untuk menggerakkan ekonomi melalui pemberian stimulus telah berjalan meskipun belum sempurna. Di sektor perbankan, Pemerintah lewat kebijakannya memberikan keringanan buat perbankan dan nasabahnya untuk melakukan restrukturisasi kredit. Dana yang digelontorkan untuk restrukturisasi ini terus bertambah. Setidaknya, hingga akhir tahun ini Pemerintah sudah menyiapkan anggaran sekitar Rp 800 triliun hingga Rp 1.000 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku pengajuan restrukturisasi kredit yang sudah semakin melandai sehingga kebangkitan sektor usaha tinggal menunggu waktu saja.
Berdasarkan data OJK, dari 100 bank telah melakukan implementasi restrukturisasi kredit, ada sebanyak 7,53 juta debitur yang mendapatkan relaksasi tersebut dengan outstanding Rp932,6 triliun per 26 Oktober 2020.
Dari jumlah itu, 5,84 juta debitur di antaranya merupakan UMKM dengan outstanding Rp369,8 triliun. Sedangkan debitur restrukturisasi non-UMKM sebanyak 1,69 juta debitur dengan outstanding Rp562,55 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, dengan penyaluran kredit perbankan mencapai Rp5.500 triliun, realisasi restrukturisasi kredit kemungkinan akan mencapai 20% dari penyaluran kredit. Namun, saat ini tren pengajuan restrukturiasi cenderung tidak mengalami perubahan.
Menurutnya, di tengah situasi tersebut, saat ini masih bergantung dengan upaya untuk mendorong pengusaha-pengusaha tersebut agar segera bangkit. UMKM sudah diberikan sejumlah kemudahan berupa stimulus seperti subsidi bunga dan penjaminan kredit. Begitu juga dengan korporasi yang mendapatkan stimulus penjaminan kreidt.
“Untuk korporasi penjaminan memang dalam size yang besar dan ini semua dalam proses percepatan recovery untuk korporat ini,” katanya dalam webinar, Selasa (24/11/2020).
Meskipun masih berupaya untuk mendorong UMKM dan korporasi untuk bangkit, Wimboh menilai sektor jasa keuangan Indonesia masih tergolong memiliki kinerja yang bagus. Hal tersebut terlihat dari rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan di Indonesia yang masih sebesar 3,15% per September 2020.
Bahkan, lanjutnya, dalam high level meeting bersama AsiaPasific Country, moratorium kondisi sektor jasa keuangan yang telah dilakukan menghasilkan kondisi Indonesia yang tidak teralu buruk. Apalagi, Indonesia memiliki kebijakan yang menjamin likuditas perbankan masih ample berupa peloggaran giro wajib minimum dan yang membuat dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 12,88% per September 2020.
Dengan rasio kecukupan modal perbankan yang berada di level 23%, menurut Wimboh akan memberikan peluang yang cukup bagi perbankan untuk bertumbuh. Apalagi ini akan menjadi bantalan bagi perbankan apabila ada sektor usaha yang perlu disokong dengan provisi.
“Ini perbankan dari segi kecukupan likuiditas cukup bahkan berlimpah, debitur pun berpeluang untuk refinancing dengan POJK 11/2020 yang telah diperpanjang hingga 2022,” sebutnya.
POJK 11/2020 memang ditunggu oleh kalangan perbankan. Seperti yang diungkap oleh Dirut Bank Mandiri. Menurut Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Darmawan Junaidi mengapresiasi langkah OJK yang memperpanjang masa berlaku relaksasi restrukturisasi kredit yang diatur dalam POJK 11/2020 sampai dengan Maret 2022. Perpanjangan ini dinilai tidak hanya bermanfaat bagi perbankan, tetapi juga pelaku usaha yang memiliki fasilitas dari bank dan masyarakat pada umumnya.
“Dari survei yang dilakukan Mandiri Institute menunjukkan adanya program pemerintah untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional dan perpanjangan POJK 11/2020 sangat membantu untuk pelaku usaha survive sehingga menghindari PHK. Kita juga bisa jaga kualitas portofolio kredit, tidak perlu pencadangan yang lebih besar. Kami akan mempersiapkan pencadangan yang cukup. Pada saat itu berakhir, bank diharapkan dapat mendukung pemulihan ekonomi dengan ekspansi kredit,” katanya.