Marketnews.id Heboh saham “Gorengan” yang muncul akhir tahun lalu masih terus berlanjut. Bila sebelumnya Perusahaan yang menjadi korban akibat saham “Gorengan” adalah PT Asuransi Jiwasraya, kini perusahaan lain mulai mencari “Kambing Hitam” kinerja investasinya menurun karena saham “Gorengan” Lagi. Bahkan pihak berwenang dalam bidang hukum akan mendalami kasus ini dan akan menyeret otoritas bursa bila ditemukan indikasi pembiaran atas transaksi saham “Gorengan” tersebut.
Benarkah karena saham “Gorengan” kinerja PT Asuransi Jiwasraya dan BUMN investasi lain nya yang investasi di pasar modal mengalami kerugian besar. Atau isu ini hanya mencari kambing hitam atas kerugian yang dialami oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan investasi di saham.
Seperti diketahui, lazimnya jelang akhir tahun, perusahaan investasi atau perusahaan yang menginvestasikan dananya pasar modal akan melakukan bersih bersih agar pembukuan perusahaan jadi bagus. Salah satunya melalui “cuci gudang” atas investasi sahamnya.
Sudah menjadi rahasia umum investasi pada saham yang disebut saham “Gorengan” memiliki risiko besar berkaitan dengan fluktuasi harga. Itulah sebabnya memainkan saham gorengan ini harus tahu kapan waktu yang tepat untuk membeli atau menjual saham tersebut. Bila sang manajer investasi piawai, maka keuntungan besar akan diraih oleh perusahaan investasi tersebut. Begitu juga sebaliknya.
Masalahnya, mengapa perusahaan investasi atau perusahaan yang menginvestasikan dana di pasar modal heboh di saat investasinya rugi. Sementara di saat meraih keuntungan mereka diam seribu bahasa.
Lalu pantaskah pihak otoritas yang dipersalahkan atas kejadian ini. Atau pihak yang menyalahkan tidak paham investasi di pasar modal. Mungkinkah dalam suatu transaksi antara penjual dan pembeli untung semuanya?
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menduga, sepanjang 2019 ada 41 saham yang terindikasi sebagai saham gorengan dengan nilai rata-rata nilai transaksi harian ( RNTH ) sebesar 8,3 persen dari RNTH 2019 sebesar Rp9,1 triliun.
“Kontribusi saham gorengan terhadap volume (transaksi) memang besar, karena saham recehan. Tetapi, secara value cuma 8,3 persen dari total RNTH kumulatif di 2019.
Ada 41 saham yang diduga terindikasi,” kata Direktur BEI, Laksono W Widodo di Gedung BEI Jakarta, Jumat (9/1).
Setidaknya, jelas Laksono, maraknya kabar tentang saham gorengan menjadi sentimen negatif, namun hal tersebut tidak mempengaruhi minat investor asing yang umumnya berminat pada saham di Indeks LQ45 atau IDX30. “Saham-saham yang disebut sebagai saham gorengan, berbeda dengan minat investor asing,” ucapnya.
Lebih lanjut Laksono menjelaskan, cara BEI mengidentifikasi saham gorengan dengan melakukan pengamatan terkait kewajaran pergerakan harga saham terhadap fundamental perusahaan.
“Mengidentifikasinya gampang, kami lihat kewajaran kenaikan harganya terhadap fundamentalnya,” kata Laksono.
Namun demikian, jelas Laksono, ketentuan yang ada tidak memperkenankan BEI untuk mempublikasikan saham yang masuk kategori saham gorengan, terlebih lagi indikasi saham gorengan tersebut bersifat dugaan. “Tetapi, 50 persen dari 41 saham itu sepertinya sudah diketahui masyarakat,” imbuhnya.
Lalu siapakah pihak yang paling bertanggung jawab atas kerugian yang di alami oleh BUMN tersebut. Manajer investasi dan pihak yang menunjuk manajer itulah yang paling bertanggung jawab.