Marketnews.id Meningkatnya harga minyak dan gas (Migas) dunia dalam beberapa bulan terakhir ini sudah langsung berdampak dan memberatkan APBN. Hingga Pebruari 2022, besaran subsidi energi sudah mencapai Rp21,7 triliun atau 11,3 persen terhadap APBN. Dengan fakta ini, Pemerintah harus melakukan penyesuaian kembali harga BBM, sesuai harga pasar agar tidak membebani APBN atau memperkecil jumlah subsidi yang harus ditanggung negara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu mengakui, kenaikan harga minyak bumi dan gas alam dunia memberatkan APBN . Kenaikan tersebut membuat subsidi energi yang diberikan pemerintah membengkak.
Pemerintah harus membayar kompensasi lebih tinggi kepada Pertamina karena tidak menaikkan harga BBM di SPBU .
Harga minyak bumi itu memang memberatkan bagi kami, kenapa? Karena harga Pertalite dan bahan bakar biasanya kita usahakan tidak terlalu bergejolak di SPBU ,” kata Febrio dalam webinar Indonesia Macro Economic Outlook 2022 di Jakarta, Senin 4 April 2022.
Bagaimanapun, menurut Febrio, APBN harus hadir memberikan bantalan goncangan ekonomi agar daya beli masyarakat terhadap BBM tidak menurun.
Tercatat, besaran subsidi energi hingga Februari 2022 mencapai Rp 21,7 triliun atau 11,3 persen terhadap APBN . Subsidi terdiri dari subsidi reguler energi tahun ini yang sebesar Rp 11,48 triliun dan kurang bayar di tahun sebelumnya Rp 10,17 triliun.
Selain peningkatan harga, naiknya subsidi energi hingga Februari 2022 terjadi karena meningkatnya volume konsumsi BBM, elpiji, dan listrik seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat.
“Itu mengakibatkan APBN harus hadir dalam konteks menjamin tidak terjadinya kenaikan harga fluktuatif untuk kepentingan rakyat banyak, dengan demikian akhirnya memang siap untuk bisa meng-absorb risiko tersebut,” ujar Febrio.
Pada saat yang sama, ada beberapa komoditas lain yang membantu meningkatkan penerimaan negara, salah satunya adalah kelapa sawit. Sejak permintaan meningkat, harga komoditas itu sempat meningkat menjadi 1.926,9 dolar AS per ton, menjadi rekor tertinggi sepanjang masa.
Febrio bilang, harga komoditas yang meningkat akan menjadi nilai tambah yang besar bagi perekonomian. Di sisi lain, menjadi sumber tambahan likuiditas di perekonomian.
“Biasanya di tahun-tahun ketika harga komoditas tinggi, kita biasanya menikmati transmisinya mengalir ke sektor perbankan dan mengalir ke konsumsi masyarakat khususnya petani yang menikmati kenaikan harga,” pungkas Febrio.